Mengapa Anak Perempuan Tak Pernah Cukup? -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Mengapa Anak Perempuan Tak Pernah Cukup?

Selasa, 28 Desember 2021



Sebagai alumni Hubungan Internasional, semasa kuliah saya diajarkan bahwa teori-teori Hubungan Internasional yang berlaku terlalu mendukung masukilinitas, yang berujung pada kelahiran patriaki, hingga di tingkat keluarga. 

Hierarki-hierarki yang terbentuk sepanjang zaman menempatkan laki-laki pada posisi pertama, sedangkan perempuan di posisi kedua. Mulai dari kepala keluarga yang acap kali diduduki seorang laki-laki, hingga negara yang sebagian besar masih dipimpin oleh kaum Adam. 

Patriaki dan maskulinitas menjadi 2 hal yang belakangan mulai disadari tidak baik, jika dibiarkan dalam porsi yang berlebihan. Gaung kesetaraan gender, antara perempuan dan laki-laki makin nyaring disuarakan oleh penggiat Feminis. Bukan cuma perempuan, namun gerakan tersebut kini banyak juga didukung oleh laki-laki yang mulai sadar, bahwa apapun jenis kelamin seorang manusia, ia tetaplah manusia dengan hak dan kewajiban yang sama. Lalu apa hubungannya dengan pertanyaan saya di atas? 

Pertanyaan tersebut lahir pada penghujung tahun 2021, saat saya dan Bapak bertengkar. Hidup tanpa media sosial dan kemudahan akses terhadap literasi, membuat sikap patriaki tumbuh mengakar di kepala Bapak. Beliau berpendapat, bahwa anak perempuannya yang sudah berusia 25 tahun ini tidak boleh pulang terlalu larut. Mirisnya, bukan keselamatan saya yang dikhawatirkannya. 

Namun omongan tetangga yang menjadi beban pikiran Bapak. “Kalau anak laki, enggak masalah,” begitulah ucapan Bapak yang membuat saya sempat naik pitam. Dari sana saya paham, bahwa untuk anak laki-laki, apapun aktivitasnya di luar rumah, pulang larut malam bukan perkara besar. Sedangkan bagi saya, dan mungkin sebagian besar perempuan di luar sana, melakukan hal baik pun tetap akan melahirkan cemoohan ketika kamu pulang di atas pukul 11 malam. 

Kenapa? Karena kamu perempuan. Tak ingin ini menjadi bom waktu, saya memberikannya penjelasan. Bahwa semua pikiran negative yang hinggap di kepalanya, tentang aktivitas yang saya lakukan di luaran sana tidak terjadi. Memang, mungkin nongkrong di kedai-kedai kopi bukan hal mendesak yang harus dilakukan. 

Namun saya berikan Beliau pemahaman, bahwa yang saya lakukan sama sekali tidak merugikan orang lain. Pun dengan tetangga kanan kiri, yang bahkan tak pernah tahu beras di rumah habis. Rupanya perkara jam malam bukan jadi satu-satunya. Saya memang tidak pernah cukup. Karena saya perempuan. Di mata Bapak, anak perempuan harus tahu pekerjaan rumah. Pekerjaan-pekerjaan domestik yang selama ini biasanya dilakukan ibu saya, yang juga perempuan. Bekerja di industri yang menjunjung tinggi fleksibilitas, kadangkala jam kerja saya pun tak beraturan. Sering kali, saya bangun siang dan baru keluar rumah menjelang sore. 

Pulang dengan keadaan lelah dan pekerjaan-pekerjaan yang saya bawa pulang pun menuntut untuk diselesaikan, ternyata saya masih punya pekerjaan lain. Pekerjaan anak perempuan. Hal ini tidak terjadi di rumah saya saja. Dari berbagai obrolan, bahkan dari rekan laki-laki di sekitar saya, ternyata memang anak perempuan tak pernah cukup. Sekalipun ia bekerja, menanggung beban finansial di rumah, ia tetap harus menuntaskan tanggung jawab domestik, yang dianggap memang ada untuk diselesaikan oleh anak perempuan. 

Pelunasan rekening listrik, ketersediaan bahan pokok yang tak pernah habis seolah-olah tak bisa mencukupi, jika kamu belum menyapu, memasak, dan mencuci pakaian keluargamu. Sedangkan di bagian lain dari rumah-rumah yang pernah saya lihat, tidak sedikit anak laki-laki yang bangun siang, tidak bekerja, tidak menghasilkan pundi-pundi rupiah, namun tetap menjadi juara pertama kebanggan keluarga. Saya pernah tergopoh-gopoh melarikan Almarhumah Ibu ke rumah sakit pukul 2 dini hari. Saya dan bapak berdua, sedangkan rumah kakak laki-laki saya hanya sekian meter dari pintu rumah saya. Ia tak bangun, dan Ibu tidak marah. 

Kata ibu waktu itu, biarkan saja karena besok kakak harus bekerja. Sedang saya pun saat itu harus berangkat sekolah pukul 07.00. Sekarang saya tahu bahwa Ibu berbohong. Bukan karena kakak bekerja. Tapi karena dia laki-laki dan saya perempuan. Tapi saya tak menyimpan amarah ini berlarut-larut, saya paham. 

Bapak dan Ibu hanya orang tua, yang tak membaca semasa muda karena sibuk bertahan di tengah himpitan ekonomi. Mereka tak berbekal pengetahuan soal kesetaraan gender, dan hanya bermodal ilmu ala kadarnya dalam mendidik anak. Saya tak pernah menyalahkan mereka, hanya karena saya lahir sebagai perempuan. Karena saya berhasil memaksimalkan apapun yang sedang dikerjakan sebagai seorang manusia. Karenanya, saya cukup.