Produknya Makin Kompleks, Tapi CTA Gitu-gitu Aja -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Produknya Makin Kompleks, Tapi CTA Gitu-gitu Aja

Rusdi Al Irsyad
Rabu, 25 Mei 2022

 


Era post truth, disrupsi informasi, adalah sedikit dari bagaimana kita mengenali zaman ini. Masa di mana tidak lagi ada batas antara orang yang cerdas banget, kaya banget dengan yang bodoh banget, atau miskin banget dalam mengakses informasi. 


Keberadaan 1 persen populasi yang menguasai 99 persen populasi, dalam hal akses informasi sejatinya cuma ilusi. Narasi-narasi kuno seperti itu, dipertahankan secara membabi-buta, demi apa? Demi bisnis tetap berjalan. 


Pada era ini, kita bisa dengan mudah menyaksikan bahwa layanan multi sumber, dengan sembrononya merusak tatanan yang sekian abad disusun pemilik modal. Mereka berantakan, sebenarnya. 


Hal mengerikan berikutnya, adalah timbulnya kesadaran kesamaan hak, membuat tembok besar bernama 'bisnis' makin terus terkikis. Hal ini mungkin saja, yang diramal oleh Jaya Baya sebagai jaman edan. Waktu di mana aku dan kamu tak lagi perlu uang. 


Pada sebuah paparan tentang masa Utopia. Kehidupan digambarkan sebagai sebuah bangunan kemudahan. Kau menginginkan sesuatu, maka kau akan mendapatkannya. Tanpa perlu lagi ada upaya, biaya atau hal semacamnya. 


Walaupun masih samar, kau bisa mengamati fenomena ini perlahan berlaku. Produk atau layanan baik benda maupun tak benda, terus menambah ragam bentuknya. Makin waktu, makin kompleks. Rumit. 


Bagian yang buruk dari generasi kita, adalah belum mampunya kita untuk melakukan penyesuaian. Jika kau lahir di tahun 1990an. Kamu bisa menyaksikan dengan mata kepalamu, bahwa dulu, Koran, Majalah dan bentuk media cetak lainnya amat sangat penting. 


Ia seperti kebutuhan, barangkali buat orang tua kita. Mungkin kau juga begitu? Sebut saja, Hai, Tempo atau Gadis. Bagian pemasaran mereka, bahkan tak perlu bersusah payah mengirimi broadcast pesan, hanya untuk menarikmu datang ke kedai majalah, dan membayar sejumlah uang, demi membawa bundelan kertas itu pulang. 


Tapi hari ini? Berapa sering,kau mengabaikan pesan massal yang masuk ke gawai pintar itu? 


Caranya juga bermacam-macam. Teori Call To Action (CTA) yang dulu rasanya begitu 'digdaya' ketika dipelajari di kelas-kelas sales, kini seperti kerikil di tepi jalan. Nobadi ker. 


Di media sosial, orang-orang bahkan dengan mudahnya sadar, bahwa narasi dari seorang pendengung jelas-jelas adalah CTA dan menyupiri kita ke arah pembelian. 


Tenaga penjual itu, seperti kehabisan tenaga dalam memilih diksi yang 'mandi'. Entah karena pasar yang sudah sadar. Atau CTA-nya yang gitu-gitu aja.




Racauan Rabu Pagi


Rusdi

Samarinda, 25 Mei 2022