...Eh kata ini, apa sih Bahasa Indonesia-nya? -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

...Eh kata ini, apa sih Bahasa Indonesia-nya?

Rusdi Al Irsyad
Minggu, 27 April 2025

Ilustrasi

Bahasa Indonesia, menurut konstitusi, adalah bahasa negara, lambang identitas nasional, dan alat pemersatu bangsa. Namun dalam praktik sehari-hari, Bahasa Indonesia sering kali tampak seperti saudara jauh yang hanya diingat saat diperlukan secara formal. Selebihnya, ia diabaikan dengan sopan, disisihkan dengan santun, demi memberi ruang bagi bahasa-bahasa asing yang konon terdengar lebih modern, lebih profesional, dan — mohon maaf — lebih keren.


Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pedoman Pengawasan Penggunaan Bahasa Indonesia telah berusaha menyelamatkan martabat bahasa kita. Peraturan ini menetapkan bahwa penggunaan Bahasa Indonesia harus diawasi di ruang publik, di dokumen resmi, bahkan di nama gedung dan lembaga. Sosialisasi, pemantauan, pendampingan, dan evaluasi dijadikan pilar pengawasan. Sungguh rapi, terstruktur, dan secara administratif nyaris sempurna.


Sayangnya, di luar dokumen resmi dan ruang rapat berpendingin udara, Bahasa Indonesia kerap tersisih secara perlahan namun pasti. Bahkan, saat peluncuran Pedoman Pengawasan Penggunaan Bahasa Indonesia Jumat 25 April 2025 yang lalu, pembawa acara lebih suka menggunakan kata photographer, ketimbang juru potret. Benar, bahwa photographer memang sudah diserap menjadi fotografer, tapi bukankah juru potret atau juru foto terdengar lebih Indonesia?


Selain itu, nama-nama usaha juga berlomba-lomba memakai bahasa asing. Kita tentu sudah tidak asing dengan; Eiger, Erigo, The Executive, California Fried Chicken, Polytron hingga Hammer? Jenama-jenama itu adalah produk asli Indonesia loh, walaupun namanya 'nginggris' banget.

Itu belum seberapa, karena data dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada tahun 2022 menyebutkan bahwa lebih dari 67 persen nama usaha di kota besar menggunakan bahasa non-Indonesia. Tak kalah menarik, survei Litbang Kompas 2023 menunjukkan bahwa 72 persen anak muda merasa lebih bergengsi bila berkomunikasi menggunakan istilah asing, meskipun kadang kala artinya sendiri kabur.


Bahkan, sering kali banyak istilah asing yang digunakan sehari-hari dianggap lebih menunjukkan maksud sebenarnya hingga pada tahap harus menanyakan apa persamaan kata tersebut dalan Bahasa Indonesia. Misalnya; deadline, soft launching, follow up, reschedule dan lainnya. Apakah tidak ada kata dalam Bahasa Indonesia untuk istilah-iatilah itu? Tentu saja ada. Tapi selain dinilai lebih efisien, ragam pengucapan istilah tersebut memang sudah mengakar, hingga punya semacam aturan sendiri dalam penggunaannya. Misal alih-alih menggunakan kata; membatalkan, anak muda lebih suka pakai nge-cancel schedule. Jika sudah sangat terpaksa, mereka akan bertanya. "Ini Bahasa Indonesia-nya apa ya?"


Rupanya, hal demikian juga diakui dilakukan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Mendikdasmen Pak Abdul Mu'ti. Dalam pidatonya saat peluncuran Pedoman Pengawasan Penggunaan Bahasa Indonesia kemarin, Pak Menteri mengaku juga sering begitu.

Tentu tidak ada yang salah dengan penguasaan bahasa asing. Dunia modern menuntut keterbukaan. Tetapi menjadi ironi besar ketika di negeri sendiri, Bahasa Indonesia tampil sebagai tamu kehormatan yang hanya dipanggil saat upacara kenegaraan, sementara dalam percakapan sehari-hari, statusnya tidak lebih dari figuran tanpa dialog.


Masalah utamanya bukan karena rakyat tidak mencintai Bahasa Indonesia, melainkan karena Bahasa Indonesia yang sering dipraktikkan terasa terlalu baku, terlalu rapi, terlalu "teks pidato."  Seakan-akan, kalau menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam percakapan sehari-hari, anda akan menjadi robot kaku, freak (eh ini apa ya Bahasa Indonesia-nya?) juga kolot dan ketinggalan zaman. Akibatnya, saat digunakan dalam pergaulan santai, Bahasa Indonesia terdengar kaku, bahkan aneh, seolah-olah berbicara menggunakan skrip yang disusun oleh panitia seminar nasional. Maka, tidak heran jika banyak orang memilih mencampurkan bahasa, menggunakan istilah asing di tengah kalimat, agar terdengar lebih santai, lebih hidup, dan — ironisnya — lebih diterima.


Padahal, pada banyak kasus Bahasa Indonesia benar-benar berperan sebagai pemersatu bangsa. Cerita Menteri Dalam Negeri Pak Tito Karnavian, misalnya. Pada sambutannya dalam acara peluncuran, Pak Tito bilang bahwa sebagai orang yang dibesarkan di Papua, ia melihat banyak sekali suku yang hanya berbicara dengan bahasanya masing-masing. Tak jarang, satu bahasa hanya dituturkan oleh satu suku itu saja, sehingga saat harus berkomunikasi dengan suku lain, mereka kebingungan.


Dalam momentum itu lah, Bahasa Indonesia kemudian hadir sebagai bahasa persatuan.

Demikian pula di Kalimantan Timur. Merujuk data Badan Pusat Statistik, hasil Sensus Penduduk tahun 2020 mencatat, meskipun tingkat keragaman suku di Bumi Etam sangat tinggi, penggunaan Bahasa Indonesia dalam komunikasi masyarakatnya tergolong sangat tinggi, yakni mencapai 99,58 persen. Walaupun penggunaan bahasa daerahnya juga tak bisa dibilang rendah, yakni di angka 31,31 persen untuk komunikasi dengan keluarga dan 20,42 persen untuk komunikasi dengan tetangga atau kerabat.


Sebuah penelitian oleh dua peneliti dari Universitas Mulawarman, menunjukkan bahwa Bahasa Indonesia, masih menjadi bahasa dengan tingkat penggunaan tertinggi dalam ragam bahasa yang digunakan di Pasar Citra Niaga, Kota Samarinda. Penelitian yang diterbitkan di Jurnal Ilmu Sosial, Humaniora dan Seni (JISHS) pada November 2022 lalu tersebut, menyimpulkan bahwa terdapat tiga ragam bahasa yang ditemukan di kawasan Citra Niaga Samarinda. Bahasa itu meliputi bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Banjar. Berdasarkan jumlah penuturnya, bahasa Indonesia menjadi bahasa yang paling banyak dijumpai, disusul bahasa Jawa, kemudian bahasa Banjar.


Bahasa Indonesia dijumpai di berbagai rentang usia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Sementara  bahasa Jawa dan bahasa Banjar hanya dituturkan oleh orang dewasa di atas 25 tahun.

Dominasi bahasa Indonesia di kawasan pasar Citra Niaga merupakan perwujudan eksistensi bahasa  Indonesia pada era modern.


Terkait bahasa daerah, hingga bahasa asing, sejatinya pemerintah sudah berusaha mengimbangi kenyataan ini melalui Gerakan Trigatra Bangun Bahasa: mengutamakan Bahasa Indonesia, melestarikan Bahasa Daerah, dan menguasai Bahasa Asing. Gagasan ini, di atas kertas, amat mulia. Namun di lapangan, justru bahasa asing yang diutamakan, Bahasa Indonesia dipakai dengan rasa canggung, dan Bahasa Daerah perlahan dilupakan, ibarat buku tua di rak yang berdebu.


Bahkan, data UNESCO tahun 2023 memperingatkan bahwa lebih dari 140 bahasa daerah Indonesia berstatus rentan punah. Sungguh ironis, negara dengan kekayaan bahasa terbanyak justru membiarkan bahasanya menghilang satu per satu, tanpa banyak upacara pelepasan.

Upaya revitalisasi bahasa daerah juga sebenarnya sudah dilakukan. Intervensi kebijakan dengan memasukkan bahasa daerah ke dalam kurikulum pendidikan sudah pula terlaksana. Di Kalimantan Timur, kalau tidak salah ada 3 bahasa yang masuk dalam program itu, yaitu Bahasa Benuaq, Tunjung dan Kutai.


Regulasi formal seperti peraturan menteri tentu penting. Namun, berdasarkan teori sosiolinguistik, bahasa adalah makhluk hidup yang tumbuh melalui kebiasaan, bukan melalui paksaan. Bahasa bertahan karena digunakan dalam percakapan santai, dalam senda gurau, dalam kelakar di warung kopi, bukan semata-mata di ruang rapat yang penuh protokol.

Sederhananya, intervensi melalui aturan formal hingga pembelajaran di sekolah biasanya tidak akan terlalu banyak berdampak. Bukankah kita semua sudah belajar bahasa Inggris dari Sekolah Dasar? Lalu, berapa banyak dari kita yang benar-benar menguasai bahasa Inggris setelah lulus SMA?


Tapi, coba lihat Brian Imanuel, alias Rich Brian. Penyanyi rap yang mendunia lewat banyak karya lagunya itu. Dia bahkan tidak pergi ke sekolah formal, karena harus home schooling. Ia mempelajari bahasa Inggris dari tontonan di situs YouTube.

Lihatlah bagaimana Darren Jason Watkins Jr, alias I Show Speed, selebritas internet yang membawa kata "santai" dan "minggir loe miskin" ke seluruh dunia. Dengan keyakinan penuh, sudah bisa dipastikan bahwa ia pasti tidak pernah membaca Permendikdasmen Nomor 2 Tahun 2025, sebagai upaya meningkatkan penggunaan bahasa Indonesia. Demikian halnya, dengan warganet Indonesia yang mengajarkan kata-kata itu.


Pada area yang sama, kita bisa belajar dari bangsa Korea Selatan, yang berhasil membuat bahasa mereka diterima dunia tanpa perlu memaksa siapa pun. Bahasa Korea hidup di drama, lagu, program realitas, dan iklan, sehingga wajar jika dunia mengucapkan "annyeonghaseyo" tanpa merasa asing. Mereka membiarkan bahasa mereka bernafas bersama budaya pop mereka, bukan hanya bergema di podium.

Sementara itu, Bahasa Indonesia kita lebih sering muncul dalam bentuk naskah formal, kering, dan penuh kata-kata besar yang tidak pernah diucapkan dalam percakapan harian. Akibatnya, masyarakat merasa Bahasa Indonesia adalah milik birokrat dan akademisi, bukan bahasa yang bisa menemani obrolan santai atau tawa di pinggir jalan.


Jika keadaan ini dibiarkan, bukan mustahil dalam dua atau tiga dekade mendatang, Bahasa Indonesia akan dikenang sebagai bahasa resmi yang kurang dipakai rakyatnya sendiri. Kita mungkin akan menyaksikan anak-anak bangsa lebih fasih merayakan "Black Friday" daripada memahami makna "obral besar."

Maka, pertanyaannya sederhana namun krusial: Apakah kita rela membiarkan Bahasa Indonesia menjadi artefak sejarah yang dibicarakan dalam seminar, tetapi dilupakan dalam percakapan? Ataukah kita siap menghidupkannya kembali, dengan menjadikan Bahasa Indonesia bagian dari keseharian kita — lentur, akrab, tanpa kehilangan kehormatan?


Bahasa Indonesia tidak memerlukan perlakuan kasihan. Ia membutuhkan kebanggaan sejati. Kebanggaan yang tidak dibatasi hanya dalam pidato kenegaraan, tetapi juga hadir dalam canda, dalam gembira, dalam debat kecil, dan dalam pesan singkat antarteman. Karena bila tidak demikian, cepat atau lambat, kita akan menjadi bangsa yang memerlukan penerjemah untuk memahami bahasa ibu kita sendiri.

Dan sungguh, tidak ada tragedi yang lebih memilukan dan memalukan daripada itu.


Rusdianto

Samarinda, Minggu 26 April 2025