Bu, Aku Ingin Pulang ke Pelukanmu -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Bu, Aku Ingin Pulang ke Pelukanmu

Jumat, 19 November 2021

ilustrasi : freepik.com

    Saya tidak pernah menyangka, bahwa kehilangan seseorang bisa sebegini menyedihkannya. Seperti yang sudah pernah saya tulis di laman pribadi saya, kehilangan terbesar saya terjadi ketika Ibu saya wafat pada 2016 silam. 

Beberapa hari pertama, saya tidak merasakan sedih yang mendalam. Perasaan yang saya rasakan hanyalah marah. Marah pada semua orang yang masih manut pada budaya-budaya seolah tak bisa ikut berduka. Waktu itu, saya tidak diberi kesempatan untuk menangis. 

Tetangga dan keluarga berkumpul setiap hari selama sepekan untuk menentukan menu makanan apa yang akan dimasak bagi tamu-tamu yang akan tahlilan nanti malam. Satu per satu mundur saat diberi amanah uang belanja. Mereka menolak karena takut ada selisih yang bisa jadi buah bibir kemudian hari. Pergilah saya ke pasar, memegang sekian ratus ribu uang untuk belanja bahan makanan guna tahlilan.

Langkah kaki saya berat, menahan tangis karena saat itu saya benar-benar ingin tidur saja dan menikmati duka saya. Belum lagi konflik bumbu masakkan antara ibu-ibu yang satu dengan yang lainnya. 

Sembari masak, mereka bergunjing tentang A, B, C dan D yang sedang tidak ada di tempat. Sesekali mereka mengingatkan bahwa saya kini Ibu Rumah Tangga yang harus mengurus rumah, bapak dan hal-hal lain yang menurut mereka “harus” jadi tanggung jawab anak perempuan yang ditinggal mati ibunya. 

Lucunya, dengan nasihat panjang lebar tersebut, mereka pergi setelah tahlilan Hari Ketujuh, dan tak pernah muncul lagi untuk memastikan apakah saya masih hidup atau ikut menyusul Ibu. Ya, mereka dan sebagian kawan-kawan saya tak hadir dalam masa-masa tersulit di hidup saya. Saya harus berhadapan dengan malam sendirian. 

Tidak bisa tidur nyaris selama 40 hari. Sejumlah keluarga memang datang, memberikan air minum yang katanya sudah diberi do’a-do’a agar saya bisa mengikhlaskan ibu saya. Pointnya bukan karena kepergian ibu saya, tapi saat itu saya benar-benar merasa sendiri dan kesepian. Akhirnya saya memutuskan untuk bertemu dengan professional. 

Dari beberapa kali pertemuan, saya didiagnosa menuju Depresi Mayor. Depresi Mayor merupakan jenis depresi yang membuat penderitanya merasa sedih dan putus asa sepanjang waktu (alodokter.com). Kepergian ibu saya menghadirkan efek domino, perubahan sikap ayah saya, hingga kesedihan mendalam yang saya pikir waktu itu tidak akan pernah selesai. 

Hampir setiap hari saya terisak di makam ibu seorang diri. Bercerita padanya tentang apa saja seperti yang biasa saya lakukan semasa ia hidup. Saya bermusuhan dengan Pak Luhut—panggilan sayang saya ke Bapak—yang merasa kehilangan seorang diri. Bapak saya menikmati kesedihannya sendirian, dan kami tidak hidup untuk saling menguatkan saat itu. 

Belakangan, saya kian mampu menegakkan bahu untuk mengamini bahwa yang mati tak akan bisa hidup lagi. Namun bukan berarti saya tak pernah memanggil ibu saya ketika saya masak, dan tidak tahu bumbu mana yang harus dipakai. Saya selalu memejamkan mata setiap masuk ke kamar Ibu. Saya sering merasa, dia masih baring menyamping seperti biasanya. Lambat laun, saya mengubur dia kesekian kalinya dalam pikiran saya. 

Saya biarkan dia mati, dan tak mau dia hidup lagi di kepala saya. Karena saya tahu, kenangan soal Ibu pasti akan membuat saya ingin pulang ke pelukannya. Ketika hubungan dengan Bapak mulai membaik, saya minta bapak merenovasi rumah. Kami hancurkan kamar yang biasa ditempati Ibu. Tahun keempat paska beliau meninggal, saya baru bisa menyisihkan pakaian-pakaiannya. 

Saya merelakan semua kenangan tentang dia dikemas rapi dalam kardus bekas. Sampai akhirnya saya berani Kembali memasang fotonya di kamar saya. Mematikan kenangan tentang ibu nyatanya tak menyehatkan mental saya. Saya masih ingin memeluknya, setiap hari tanpa jeda. Tapi seperti kalimat yang saya bisikkan di jenazahnya, saya janjikan merawat Bapak sampai selesai, sampai akhirnya Bapak menyusul Ibu. Karena itu saya merasa bahwa saya harus tetap hidup. 

Jadi, saya tetap menguburnya di hati saya. Sembari mengingat hal-hal indah tentang dia, dengan perasaan yang lebih hangat dan tak meledak-ledak. Kematian ibu tak hanya membuatnya hilang dari sisi saya, tapi membawa sejumlah orang yang tak perduli dengan saya untuk ikut keluar dari hidup keluarga kami. 

Lima tahun setelah ia wafat, saya bisa menceritakan tentang dia sembari melihat fotonya yang terpajang di samping rak buku saya. Dengan kebaya berwarna terracotta, ia menenteng tes berwarna hitam. Rasanya ia melihat saya, setiap hari. Jadi saya putuskan untuk berhenti bersedih, karena semasa hidup beliau selalu bilang: Sedih terus, coba happy. Bu, aku ingin memelukmu. Tapi jangan bawa aku pulang dulu.

Permata S Rahayu