![]() |
Gubernur Kaltim Rudy Mas'ud (kiri) dan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi (kanan). (Tangkapan layar). |
'Gubernur Konten,' katanya. Sekilas terdengar seperti sindiran, tapi kalau dipikir-pikir lagi, ini sebenarnya pujian. Aslina. 👂🏻
Soalnya begini: di negeri ini, konten jauh lebih penting daripada kontainer pembangunan. Apa artinya program unggulan kalau tidak bisa FYP di TikTok? Apa gunanya perbaikan infrastruktur kalau tidak direkam pakai kamera wide angle dan disisipin musik yang bikin haru? Di sinilah Kang Dedi menang telak. Beliau bukan cuma paham soal kepemimpinan, tapi juga ngarti pisan cara menjahit narasi hingga viral tanpa harus jual drama murahan.
Bayangkan, belanja iklan pemprov zaman beliau cuma Rp3 miliar. Dulu katanya Rp50 miliar. Astaghfirullah, mun teu make konten mah rugi negara atuh. Kang Dedi ngajarkeun bahwa membangun itu bukan hanya soal anggaran, tapi juga soal kepercayaan rakyat. Dan kepercayaan hari ini dibentuk lewat konsistensi di media sosial, bukan cuma pidato dan spanduk.
Saya percaya, Pak Rudy juga tahu hal itu. Tetapi mungkin karena saking kagumnya, beliau salah ucap. Yang keluar malah seperti sarkasme, padahal niatnya apresiasi. Ya biasalah, kita semua pernah kayak gitu, kan? Pengin muji, tapi kedengerannya kayak nyindir. Tetapi tidak apa-apa, saya sebagai rakyat Kaltim dan juga bobotoh konten KDM, siap membela.
Sebenarnya kalau dipikir lebih dalam, ucapan Pak Rudy itu menandakan satu hal: beliau sadar bahwa zaman sudah berubah. Dulu gubernur cukup berkunjung ke pelosok, potong pita, lalu balik ke kantor. Sekarang? Harus selfie sambil senyum, bikin caption menyentuh, dan jangan lupa tag akun pemda. Kalau bisa pakai filter yang bikin langit lebih biru dari biasanya.
Apakah itu salah? Tentu tidak. Justru ini evolusi demokrasi digital, dan Dedi Mulyadi adalah sosok paling adaptif. Di saat pejabat lain bingung mau ngapain kalau kamera menyala, beliau malah leumpang ka pasar, ngobrol dengan rakyat, kadang malah bagi-bagi beras sambil cerita soal kehidupan sederhana ala Sunda Wiwitan.
Kalau boleh jujur, saya pun kadang bertanya-tanya, mengapa Kaltim belum punya gubernur yang seaktif eta di media sosial? Kami punya IKN, lho. Harusnya setiap hari ada konten pembangunan: drone shot jalan baru, slow-motion tukang batu, atau testimoni warga lokal yang bilang, “Alhamdulillah, dulu rawa, sekarang jadi jalan tol.” Tapi ya sudahlah, mungkin sinyal di Kaltim masih suka ngilang, jadi susah bikin konten stabil.
Oleh karena itu, biarlah Kang Dedi yang tetap pegang gelar Gubernur Konten. Itu bukan hinaan, tapi medali kehormatan. Coba cek di kamus bahasa Inggris, konten atau content itu artinya isi. Berarti gubernur konten ya gubernur yang berisi. Isinya apa? Tentu saja program yang bermanfaat bagi masyarakat dan menyejahterakan. Pasti banyak yang sepakat dengan saya untuk hal ini, ya kan?
Selain itu, bikin konten itu tidak gampang, apalagi yang nyambung ka haté. Buat Pak Rudy, terima kasih sudah membuka ruang diskusi. Ucapan bapak membuat kami sadar bahwa bahkan gubernurpun sekarang dinilai bukan cuma dari kebijakan, tapi dari kehadiran digital. Kumaha atuh, zaman ayeuna mah kudu bisa nge-eksis atuh, da masyarakatna geus melek digital sakabehna.
Jadi simpulannya, Kang Dedi memang pantas menyandang gelar Gubernur Konten. Tapi jangan khawatir, Pak Rudy. Mungkin nanti ada gelar lain yang cocok buat bapak. Misalnya, 'Gubernur Pemersatu Algoritma,' atau 'Gubernur Penjaga Legacy IKN.' Kita tinggal cari momen dan narasi yang pas. Dan kalau butuh ide konten, saya siap bantu, asal jangan suruh jadi kameramen di hutan aja. Banyak nyamuk, Pak. Apalagi ke Kota Nusantara, takut nyasar, Pak. Soalnya saya belum pernah ke sana.
Rusdianto
Samarinda, Rabu 30 April 2025