Konten Kreator Kutai dan Tantangan Memasyarakatkan Bahasa Daerah -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Konten Kreator Kutai dan Tantangan Memasyarakatkan Bahasa Daerah

Rusdi Al Irsyad
Kamis, 29 Februari 2024

Kolase oleh Kalimantana.id

 Saat ini, Indonesia barangkali dihuni populasi manusia yang sebagian besar berusia antara 15 hingga 75 tahun. Sekelompok dari manusia dalam rentang usia ini-lah, yang membentuk opini yang berkembang di lini masa media sosial, juga perbincangan publik. 

Salah satu instrumen paling penting dalam interaksi dalam diskursus publik itu, adalah; bahasa. Seringkali, ada dikotomi antara bahasa berkelas dan bahasa rendahan. Selain itu, ada semacam tingkatan pada varian bahasa. Mulai dari bahasa publik internasional, bahasa nasional hingga sebutan bahasa daerah. 


Pembagian tingkatan itu, ketika dilihat lagi nyatanya tidak berkaitan sama sekali, dengan tingkat kesulitan pelafalan atau kerumitan tata bahasanya. Hanya lebih ke banyak-banyakan penutur, penetapan oleh organisasi atau lembaga penguasa, hingga yang terburuk adalah seberapa banyak tokoh terkenal yang menggunakannya. 


Muhammad Sarip, seorang sejarawan publik berbasis di Kalimantan Timur, dalam pernyataannya secara terbuka selalu bilang bahwa pembumian sebuah bahasa terutama yang dapat predikat bahasa daerah akan lebih mudah dan efektif, ketika dilakukan secara natural, dan penggunaan dalam bahasa tutur sehari-hari oleh masyarakat, alih-alih dipaksakan melalui lembaga-lembaga pendidikan formal. 


Premis ini sejatinya juga berlaku untuk bahasa nasional bahkan internasional. Kita sudah lihat banyak contoh tokoh poliglot -mereka yang menguasai bahasa lebih dari 5 bahkan hingga belasan- justru belajar bahasa baru, bukan dari organisasi sekolah formal, melainkan dari interaksi sosial dengan si pengguna bahasa yang hendak dipelajari (kebanyakan secara daring). 


Selain itu, sudah rahasia umum bahwa nyaris 80 persen peserta didik di Indonesia, yang sejak jenjang Sekolah Dasar bahkan hingga Perguruan Tinggi mendapatkan pembelajaran bahasa asing yaitu bahasa Inggris, tidak benar-benar menguasai bahasa yang disebut bahasa internasional itu. 


Dalam konteks Kalimantan Timur, tersiar kabar bahwa beberapa lembaga formal mewajibkan sejumlah bahasa daerah untuk diajarkan di sekolah formal. Pertanyaan berikutnya adalah, apakah ini benar-benar efektif? 


Jika kembali kepada premis yang disampaikan Muhammad Sarip, maka sudah pasti program ini mentas sebelum nyebur. Apalagi, tak sedikit tokoh populer yang mendapat atensi tinggi di Kalimantan Timur justru menggunakan bahasa daerah lain, yang tidak ditetapkan sebagai bahasa yang seharusnya diajarkan di sekolah. 


Gubernur Kalimantan Timur Periode 2018-2023 Isran Noor, misalnya. Kini mulai banyak muncul di lini masa sosial media, dengan konten-konten yang menggunakan bahasa tutur 'Urang Samarinda' yakni, Bahasa Banjar dialek Samarinda. Padahal, Isran diketahui lahir dan besar di Kutai Timur,  yang memang punya bahasa daerah sendiri, yakni Bahasa Kutai. 

Meskipun tak kenal dengan tim branding Kai Isran, tapi rasanya, pertimbangan mengapa Bahasa Banjar dengan dialek Samarinda lebih dipilih untuk menyampaikan pesan adalah karena penutur bahasa ini relatif lebih banyak (perlu rujukan data). Ini masih kemungkinan, karena kita tak pernah tahu apa alasan sebenarnya. 


Tapi, sebagai orang yang lahir dan besar di Sebulu, yang lingua franca-nya alias bahasa sehari-harinya adalah Bahasa Kutai, saya punya keyakinan dengan bahasa ini. Keyakinan bahwa sejatinya, Bahasa Kutai dengan ragam dialeknya, akan segera mendapatkan momentum untuk menjadi booming. Mungkin memang penuturnya tak sebesar atau sebanyak Bahasa Banjar dialek Samarinda atau Bahasa Banjar itu sendiri. 


Tapi, kalian semua harus tahu bahwa wilayah yang masuk dalam kawasan Kutai Raya itu besar sekali. Oiya, Kutai Raya ini rasanya engga ada dalam sebutan resmi geografis manapun. Ini cuma sebutan saya aja, untuk menamai wilayah yang mendapat pengaruh Bahasa Kutai. Mulai dari Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur, hingga Kutai Barat. 


Saya baru sadar akan berapa besarnya populasi mereka, ketika memproduksi episode Korkal Siniar yang membahas hilangnya seorang pemuda, di Desa Menamang Kanan. Sebuah desa yang berada di Kutai Kartanegara. Tayangan siaran langsung di kanal YouTube Koran Kaltim Video, ditonton secara langsung sebanyak seribu akun lebih. Dari laporan grafik yang disajikan dashboard YouTube Studio, kami jadi tahu, mereka semua berasal dari wilayah Kutai Raya. 


Rekaman siaran langsung yang ditayangkan setelah siaran langsung juga, dalam waktu singkat sudah ditonton lebih dari 2.500 kali. Kolom komentarnya, dipenuhi celoteh dalam bahasa Kutai dalam berbagai ragam dialek. Ini adalah sesuatu yang sangat membahagiakan. Ini menunjukkan bahwa, Bahasa Kutai tidak akan kehilangan penuturnya. Yang diperlukan hanya lebih banyak tokoh populer yang ikut menuturkannya. Dan sepertinya, hal itu akan segera tercapai tak lama lagi. 


Meta, sebuah perusahaan penyedia jasa jejaring media sosial menyediakan reward bagi mereka yang serius membuat konten di platform mereka. Syukurnya, hal ini juga ditangkap dengan baik oleh para pembuat konten dari wilayah Kutai Raya. Video-video berbahasa Kutai dari berbagai ragam dialek, sudah ditonton hingga ratusan ribu kali, bahkan jutaan. Saya berdoa, mudah-mudahan makin banyak konten berbahasa Kutai yang muncul ke publik. 


Jadi, sebagai sedikit saran. Marilah kita dukung konten kreator lokal, khususnya yang berbahasa Kutai atau Banjar. Selain itu, teruslah menggunakan bahasa daerah di ruang-ruang publik. Jangan sampai kita hanya menjadi katak dalam tempurung. Para tokoh populer ini yang akan menjadi agen penyebaran bahasa Kutai ke ranah yang lebih luas. 


Bagaimana, masih yakin dong, nanti lingua franca di Ibu Kota Negara Indonesia yang baru adalah Bahasa Kutai? Yakin lah, masa enggak. 



Rusdianto 

Makroman, 29 Februari 2024