Guru Honorer Menjerit, PGRI Membisu -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Guru Honorer Menjerit, PGRI Membisu

Redaksi Kalimantana
Kamis, 24 Juli 2025



Di ruang kelas yang panas dan sempit di SMK Swasta, seorang guru honorer muda menyapu papan tulis sambil mengulang kembali pelajaran seni budaya kepada murid-muridnya yang mulai gelisah menjelang bel istirahat. Ia mengajar sejak 2021. Gajinya dari dua sekolah hanya Rp1,5 juta per bulan tanpa tunjangan, tanpa jaminan, tanpa status. Ia bertahan bukan karena sistem mendukung, melainkan karena dzikir ilmu, istilah yang ia ciptakan sendiri: semacam upaya untuk mensyukuri ilmu lewat pengabdian, meski tak dibayar layak.


Di balik keteguhan pribadi seperti dirinya, mencuatlah kenyataan yang lebih pahit: para guru honorer merasa tak lagi punya rumah perlindungan. Bahkan organisasi profesi terbesar mereka, PGRI, kini tak dipercaya.


PGRI? Di mana mereka saat suara kami tak didengar?” ujarnya datar. “Kami hanya dihitung saat ada acara seremoni, bukan saat kami lapar.”



PGRI: Dari Pelindung Menjadi Penonton


PGRI atau Persatuan Guru Republik Indonesia selama ini dianggap sebagai wadah perjuangan guru. Namun, bagi banyak guru honorer di daerah, PGRI kini tak lebih dari papan nama yang usang. Wadah yang dulu lahir dari semangat perlawanan di masa kolonial, kini dianggap menjadi penonton pasif dalam drama panjang ketidakadilan terhadap guru non-PNS.


Kekecewaan itu semakin menguat dalam lima tahun terakhir, terutama sejak munculnya seleksi PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang tidak berpihak. Banyak guru honorer senior tersingkir oleh guru muda baru. Ketika protes mencuat, PGRI hanya mengeluarkan pernyataan normatif. Tidak ada advokasi nyata. Tidak ada tekanan politik. Tidak ada lobi yang berhasil.


PGRI tidak punya taring,” kata seorang guru SD di Ciamis yang telah mengajar selama 17 tahun. “Kami hanya dibela dalam pidato. Bukan dalam kebijakan.”



Wacana Pembubaran yang Menguat



Kegagalan PGRI dalam melakukan pembelaan nyata kepada anggotanya membuat sebagian guru mendorong wacana yang selama ini tabu: membubarkan PGRI.


Di media sosial, tagar #BubarkanPGRI pernah muncul bersamaan dengan gelombang protes guru honorer pada 2024 lalu. “Kami membayar iuran, tapi apa balasannya?” tulis seorang guru dari indramayu . “Suara kami hanya jadi angka di registrasi. Tidak ada keberpihakan.”


Wacana ini bukan sekadar letupan emosi. Banyak kalangan akademisi pendidikan mulai mempertanyakan relevansi PGRI. Dalam satu diskusi di Universitas Negeri Yogyakarta, seorang dosen menyebut PGRI sebagai “organisasi yang gagal membaca zaman, dan terlalu nyaman menjadi mitra pemerintah tanpa kritik.”


Sementara itu, Kementerian Pendidikan tak memberikan komentar langsung soal desakan pembubaran. Namun seorang pejabat di lingkungan Ditjen GTK, yang enggan disebut namanya, menyatakan bahwa “evaluasi terhadap organisasi profesi memang perlu dilakukan, termasuk mempertanyakan apakah mereka benar-benar bekerja untuk anggotanya.”


Guru Honorer: Hidup dalam Bayang-Bayang


Di tengah kisruh organisasi dan kebijakan yang tak menentu, guru honorer terus mengajar. Mengisi absen. Membimbing siswa. Membantu acara sekolah. Menjadi fotografer, MC, penata panggung, hingga penyanyi pada perpisahan. Semua dilakukan, kadang tanpa bayaran.


Guru honorer itu seperti aktor bayangan. Tak terlihat, tapi menopang pertunjukan,” kata guru seni budaya itu lagi. “Yang berdiri di panggung itu hanya segelintir.”




Meski lelah, ia bertahan. Bukan karena sistem memberinya alasan untuk bertahan, tapi karena ibunya juga seorang guru, yang setiap hari menguatkannya lewat doa dan cerita.


“Kalau bukan karena wejangan ibu, mungkin saya sudah mundur,” ucapnya.


Krisis Identitas Organisasi Profesi


Kini, PGRI menghadapi dilema besar: apakah akan berubah menjadi organisasi yang benar-benar membela anggotanya, ataukah akan hilang dimakan zaman?


Sebagian berharap PGRI dibubarkan dan digantikan oleh wadah baru yang lebih transparan, demokratis, dan berani bersuara. Sebagian lainnya masih menyisakan harapan agar organisasi ini melakukan refleksi dan reformasi total.


Namun bagi para guru honorer, harapan itu kian menipis. Terlalu sering mereka ditinggalkan saat dibutuhkan. Terlalu lama mereka berdzikir ilmu dalam sunyi.


Ab mencatat: ketika organisasi profesi menjadi birokrasi tanpa nurani, maka yang tinggal hanya ritual, bukan perjuangan. Dan para guru, sekali lagi, harus bertahan sendirian. 



AB Asmarandana

__________________________________________________


AB Asmarandana, nama pena dari Budi Darma, M.Sn., adalah seorang seniman teater, penulis, dan dosen asal Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Saat ini Ia aktif sebagai dosen Prodi Sendratasik UMTAS dan mengembangkan seni pertunjukan di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Kutai Kartanegara dan Tasikmalaya.​