Pemerintah Bakal Narik Pajak Digital Lewat Marketplace, Sebenarnya Apa Isi PMK 37 tahun 2025? -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Pemerintah Bakal Narik Pajak Digital Lewat Marketplace, Sebenarnya Apa Isi PMK 37 tahun 2025?

Rusdi Al Irsyad
Rabu, 16 Juli 2025

Ilustrasi 
 Pemerintah resmi menetapkan aturan baru yang membuat marketplace wajib memungut pajak dari penjual. Aturannya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 (PMK 37). Isi aturannya simpel: penjual yang berjualan lewat marketplace seperti Shopee, Tokopedia, Bukalapak, dan platform sejenis, akan dikenai potongan pajak langsung sebesar 0,5 persen dari omzet. Pajak ini masuk dalam kategori PPh Pasal 22.

Pungutan dilakukan langsung oleh pihak marketplace, lalu disetorkan ke negara setiap bulan. Sistemnya sudah otomatis. Penjual tinggal terima hasil bersih, setelah dipotong pajak. Dalam praktiknya, marketplace yang sudah ditunjuk pemerintah wajib mengurus pemungutan, pelaporan, dan penyetoran pajaknya.


Tapi aturan ini tidak berlaku untuk semua jenis transaksi. Penjualan pulsa, token listrik, logam mulia, jasa antar barang oleh ojek atau kurir, serta jual-beli tanah dan bangunan dikecualikan. Begitu juga penjual kecil yang omzetnya belum sampai Rp500 juta per tahun. Dalam dokumen resminya, ada satu poin penting: untuk bisa tidak dipungut, penjual harus lebih dulu menyerahkan surat keterangan atau pernyataan omzet ke pihak marketplace. Tanpa itu, potongan tetap jalan, meskipun omzet masih kecil.


Di permukaan, aturan ini tampak cukup rapi. Tapi begitu diterapkan ke lapangan, muncul ruang-ruang yang belum terjawab sepenuhnya. Salah satu celahnya ada di soal verifikasi omzet. Marketplace tidak diberi akses ke data perpajakan penjual. Jadi, ketika seseorang menyerahkan surat keterangan bahwa omzetnya kecil, pihak platform hampir tidak punya cara untuk memastikan apakah pernyataan itu benar atau tidak. Situasi ini membuka peluang untuk manipulasi data. Apalagi sistem pajak di Indonesia masih dominan berbasis self-declared, atau percaya pada apa yang dilaporkan oleh wajib pajak.


Masalah lainnya muncul dari praktik pecah toko. Banyak pelaku usaha online yang membuat beberapa akun sekaligus untuk menyebar transaksi. Satu akun mencatat omzet Rp100 juta, satu lagi Rp200 juta, dan seterusnya. Secara total, omzetnya bisa lebih dari setengah miliar, tapi karena tersebar di akun-akun kecil, semuanya terlihat seolah tidak wajib dipungut. Platform pun tidak punya cukup kuasa atau sistem untuk membaca hubungan antar akun itu.


Belum lagi soal transaksi luar sistem. Banyak penjual yang bertemu pembeli di platform, lalu menyelesaikan transaksi di luar, entah lewat transfer pribadi, COD, atau bahkan janji ketemuan langsung. Selama tidak terjadi transaksi resmi di dalam platform, tidak ada pajak yang bisa dipungut. Sementara itu, aktivitas ekonomi tetap berjalan, hanya tidak tercatat.


Kalau melihat dari sisi penjual, aturan ini membawa dua sisi. Di satu sisi, bagi yang benar-benar pelaku usaha kecil, pemungutan ini bisa jadi beban tambahan kalau tidak tahu cara menghindarinya secara resmi. Tapi bagi yang sudah paham prosedur, cukup menyerahkan surat keterangan omzet, lalu bisa lanjut jualan seperti biasa tanpa potongan.

Dari sisi pembeli, aturan ini hampir tidak terasa. Harga mungkin sedikit naik karena penjual menyesuaikan margin, tapi tidak drastis. Beban utamanya tetap ada di penjual dan platform.


Bagi negara, ini cara paling masuk akal untuk memperluas basis pajak di sektor digital yang tumbuh cepat tapi sulit dilacak. Marketplace jadi simpul kontrol baru. Tapi di sisi lain, ketergantungan pada pihak swasta untuk tugas pemungutan juga menyimpan potensi risiko, terutama jika sistem pelaporan dan auditnya belum benar-benar kuat.

Dalam pengantar buku Surveiller et punir (1975), Michel Foucault membahas bagaimana kekuasaan tidak lagi bekerja lewat hukum dan larangan semata, tapi juga lewat pengawasan yang menyusup ke sistem. Di titik ini, marketplace bisa dilihat sebagai alat negara untuk memperluas jangkauan kontrol fiskal, bahkan tanpa harus hadir secara fisik. Pajak tidak lagi dipungut lewat kantor pajak, tapi lewat kode invoice.


Tapi sistem ini baru. Dan seperti semua sistem baru, implementasinya masih banyak ruang bolong. Sampai hari ini, belum ada daftar resmi terbuka tentang platform mana saja yang sudah ditunjuk sebagai pemungut PPh 22. Marketplace juga tidak selalu terbuka menyampaikan informasi ke semua penjual soal kewajiban baru ini. Banyak pelaku usaha kecil yang bahkan tidak tahu bahwa potongan yang mereka alami sebenarnya adalah pajak.

Masalahnya bukan cuma soal teknis atau regulasi. Ini juga soal komunikasi dan kejelasan posisi. Siapa yang wajib lapor? Apa sanksinya jika lalai? Apakah akan ada audit di kemudian hari? Semua itu masih samar.

Sementara itu, transaksi jalan terus. Penjual tetap berjualan. Negara sudah mulai memotong. Tapi ruang diskusi di publik masih minim. Di sini, yang diperlukan bukan sekadar sistem pungutan yang lebih rapi, tapi juga pendekatan yang lebih transparan dan membumi. Pajak, pada akhirnya, bukan cuma soal angka dan pasal, tapi juga soal rasa adil.