![]() |
Ilustrasi |
Rasanya walau pasti masih ada orang Indonesia yang tidak tahu, tidak berlebihan kalau saya bilang bahwa kita semua kenal panggilan ini: Mas. Satu suku kata, ringan di lidah, tapi sarat makna. Di Jawa, Mas adalah panggilan kehormatan. Ia bukan sekadar sapaan, tapi penanda kasih sayang, hormat, dan terkadang… superioritas sosial yang dibungkus ramah tamah. Tapi lucunya, di luar konteks budaya aslinya, Mas bisa menjelma menjadi senjata verbal yang cukup intimidatif.
Dalam buku "Budi Pekerti Jawa: Filsafat Hidup Orang Jawa" oleh Koentjaraningrat, disebutkan bahwa panggilan Mas berasal dari kata "emas", yang berarti sesuatu yang berharga. Panggilan ini diberikan kepada laki-laki sebagai bentuk penghormatan dan kehangatan. Maka jangan heran jika di keluarga Jawa, anak laki-laki sulung dipanggil Mas, dan di dunia kerja, office boy sampai direktur bisa sama-sama dipanggil Mas tergantung siapa yang memanggil.
Tapi budaya itu kemudian menyebar. Bukan hanya lewat transmigrasi atau sinetron, tapi lewat percampuran sosial yang begitu cair di Indonesia. Kini, Mas bukan hanya milik Jawa. Di warung Padang, abang parkir di Kupang, petugas SPBU di Makassar, sampai wartawan di Kota Samarinda juga bisa dipanggil, Mas. Bahkan bukan hanya sekali. Bahkan berkali-kali, sampai rasanya makna sapaan hormat, penanda kasih sayang dan hal-hal baik lain yang terkandung dalam kata Mas, hilang belaka dan berganti menjadi serbuan beruntun yang saya sebut saja "Mas bombing, atau Mass bombing, sebagaimana love bombing," yang mampu merobohkan pilar-pilar kebebasan dan keterbukaan informasi publik.
Memang, dampak logis dari penyebaran budaya ke seluruh pelosok Indonesia yang demikian beragam sudah pasti bakal mereduksi kata Mas itu sendiri. Mulai dari pengucapannya, hingga pemaknaan yang luntur sehingga mengarah kepada panggilan formalitas hampa, atau lebih buruk lagi, alat kuasa yang dibungkus norma konsensus bernama kesopanan.
Hal ini, pernah terjadi dalam sejarah pers Amerika. Sapaan yang dianggap sopan seperti “Sir” atau “Ma’am” juga pernah jadi alat represi halus dalam konferensi pers atau interaksi politik. Dalam buku The Press Effect: Politicians, Journalists, and the Stories That Shape the Political World (Jamieson & Waldman, 2003), disebutkan bahwa pejabat dan tim komunikasi politik sering menggunakan strategi “linguistik pengalihan” yakni dengan menyebut lawan bicaranya dengan panggilan sopan berulang kali untuk mengatur ritme percakapan, mengalihkan fokus, dan memosisikan diri sebagai pihak superior secara moral.
Contohnya terjadi pada masa pemerintahan George W. Bush, di mana para juru bicara Gedung Putih seperti Ari Fleischer dikenal dengan taktik "repetitive deference": terus-menerus menyebut “Sir” atau menyela pertanyaan dengan nada tenang tapi tegas, untuk mengendalikan arah pembicaraan tanpa perlu memberi jawaban substantif.
Lebih konkret lagi, kita bisa merujuk pada insiden di Gedung Putih tahun 2001, saat reporter veteran Helen Thomas dipojokkan oleh staf komunikasi dengan interupsi bertubi-tubi disertai sapaan “Ma’am” yang diucapkan setengah menyindir. Media watchdog FAIR (Fairness and Accuracy In Reporting) mendokumentasikan hal ini sebagai bentuk “disciplined civility” sopan santun yang didesain untuk membatasi ruang kritik. Ini bukan lagi etika komunikasi, tapi cara meredam pertanyaan yang tak nyaman dengan cara-cara yang tampaknya santun.
Lebih jauh lagi, bahkan di masa Yunani Kuno, para penjaga istana Athena punya jurus serupa. Dalam The Athenian Constitution karya Aristoteles, diceritakan bahwa petugas negara kadang menginterupsi dialog publik dengan panggilan-panggilan kehormatan yang dibuat-buat, seperti “O citizen!” berulang-ulang, hingga sang penanya merasa sedang diadili, bukan berdiskusi.
Maka, kalau hari ini ada protokoler kepala daerah memanggil Mas delapan kali dalam tempo sepuluh detik saat wawancara, sebenarnya ia sedang meneruskan tradisi klasik dari masa ke masa.
Rusdianto
Samarinda, Selasa 22 Juli 2025