Vaga dan Kepiting Goreng yang Bukan Hewan -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Vaga dan Kepiting Goreng yang Bukan Hewan

Rusdi Al Irsyad
Kamis, 16 Juni 2022

 


Buah jatuh, tak jauh dari pohonnya. Peribahasa yang dipakai menggambarkan seorang anak, akan punya perilaku yang tak jauh beda dengan orang tuanya. Bisa-bisanya manusia disamakan sama pohon. 

Tapi sayangnya, ini ada benarnya. Vaga, anakku yang September nanti akan berusia 4 tahun, nyatanya punya sekian kesamaan denganku. Selagi kecil, aku sering korengan, setiap kali makan makanan dengan kandungan protein tinggi, terutama yang berasal dari hewan. Telur dan ikan, adalah dua di antaranya. 

Rupanya, ini juga terjadi pada Vaga. Bedanya hanya di soal penyebutan. Waktu bayi, dan masih ASI eksklusif, Vaga yang kami beri nama Svarga Rabyand Irsyad itu selalu muncul bintik dan ruam kemerahan, di sekujur badan sampai ke wajah, setiap mamanya makan makanan seperti telur dan ikan. Setelah dicek ke dokter, dan tentu saja konsultasi di Pusat Layanan Kesehatan Google, kami tahu bahwa Vaga mengalami eksim atopik. Sebuah keadaan di mana tubuh akan memberi reaksi gatal ketika mendapat asupan protein hewani. Seperti susu, ikan dan telur. 

Nah itu, dengan sebutan yang beda, penanganannya juga jadi beda. Karena dulu aku disebut korengan, ya akhirnya cuma dikasih bedak herocin atau asam salisilat. Sementara Vaga, sampai harus dibaluri lotion khusus yang harganya selalu bikin deg-degan.  

Salah satu cara untuk tidak samasekali terkena masalah, adalah dengan menghindarinya. Itu pula yang kami lakukan. Sepanjang masa menyusui Vaga selama 2 tahun penuh, kami hampir tak pernah makan makanan yang mengandung protein hewani. Apalagi yang berasal dari laut, seperti ikan, udang, lobster, kaviar, rajungan, dan sekoci Titanic. 

Kebutuhan vitamin dan protein Vaga, kami cukupi dari asupan berbahan nabati. Seperti godong singkong, tempe Pak Zaki, dan Tahu Lek Solekah. Sehat sekali bukan? Terutama buat kantong saya. 

Alhamdulillah, Vaga berhasil melalui masa-masa berat itu. Kabarnya, dermatitis atopik hanya berlaku kepada anak usia batita. Artinya, sekarang Vaga sudah bisa makan makanan dari laut. 

Beberapa kali, kami sudah kenalkan Vaga kepada kuliner bahari. Tentu saja namanya juga mengenalkan, ya pelan-pelan, dari yang mudah-mudah (baca; murah-murah) dulu. 

Walaupun selalu excited setiap kali mamanya mengolah tongkol, biji nangka, dan kawan satu ma'had-nya, mungkin saja Vaga mulai bosan, dan pengin coba penganan lain dari laut. 

Sebagai bapak yang cerdik lagi berakal, aku tak ingin mengecewakan Vaga. Berbekal ingatan dari obrolan ngalor-ngidul di ruang Media Center Kantor Gubernur Kaltim, aku merekonstruksi ucapan demi ucapan Yogi Arya Irfan. Jurnalis serba bisa berbadan jangkung, dari Mazhab Bikini Bottom. Dia pernah bilang, bahwa tepung bumbu, itu bisa digoreng sedemikian rupa, hanya dengan mencampurnya dengan air. 

Saat kucoba untuk pertama kalinya, aku tuang saja secara acak adonan encer tepung bumbu itu ke minyak panas. Dengan modal sendok makan, aku buat ia seolah adalah jalanan aspal kelok seribu di Sumatera sana. Terus begitu hingga menghasilkan bentuk abstrak, yang ternyata, rasaya renyah nan krispi, tentunya setelah di angkat dari minyak. 

Waktu itu, Vaga yang kepo seperti biasa terus-terusan meneror dengan pertanyaan yang sama. "Apa itu,Ba?" "Ba, itu apa?" 

Aku ngide dengan memotek sekira 5 centimeter tepung kering itu, dan memberikannya ke Vaga. 

"Itu, Cicak," kataku. Eh ternyata Vaga punya nama sendiri. 

"Ini kepiting, Ba," bocah itu bersikeras. Ah, kalau aku saja bisa berimajinasi. Kenapa Vaga tidak boleh? 

Vaga, senang. Kantong tenang. Bayangkan, makan kepiting dengan modal tepung bumbu seharga kurang dari Rp10 ribu? Aku yang excited sekarang. 

Seminggu ini, Vaga minta dibuatkan kepiting hampir setiap hari. Pagi, siang sore. Bahkan dimakan pakai nasi. Mungkin itu sehat untuk kantongku yang sebenarnya sedang tak sehat sekarang. 

Tapi aku yakin, ini bisa saja jadi kurang sehat buat Vaga. Ah maafkan Babamu ini, Vaga. 


Rusdi
Samarinda 16 Juni 2022