Andi Harun, Seni Kepemimpinan, dan Teori Kutukan Kekuasaan -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Andi Harun, Seni Kepemimpinan, dan Teori Kutukan Kekuasaan

Sobat Kalimantana
Kamis, 21 Juli 2022

Andi Harun (Dok. Instagram/@andiharun.official)


Oleh: Akmad Bustanul Arif


Saya bertemu Andi Harun, Walikota Samarinda, dua kali. Pertama pada awal Agustus 2021 dan kedua pada pertengahan Desember 2021. Kami berdiskusi di selasar yang ada di sayap sebelah kiri Anjungan Karamumus Balai Kota Samarinda. Rupanya, di selasar itulah Andi Harun biasa ‘nongkrong’ dan berdiskusi malam hari (hingga dini) usai menjalankan aktivitasnya sebagai kepala daerah, dan masih pakai seragam. Artinya, ia belum pulang (istirahat) dari menjalankan perannya sebagai pemimpin sebuah kota. 


Apa yang dilakukan pria kelahiran Bone, 12 Desember 1972 ini di selasar Anjungan? Ngobrol, bercengkrama, berdiskusi, dan menerima beberapa tamu. Di sana, ia menciptakan ruang bagi terjadinya keakraban dan dialog. Ia menciptakan keterbukaan dan kehangatan. 


Dan itulah salah satu gaya kepemimpinannya: keterbukaan. Ia membuka kemungkinan-kemungkinan. Ia membuka ruang bagi terjadinya dialektika. Ia sadar bahwa secerdas-cerdasnya dia, sepintar-pintarnya dia, dia tetap membutuhkan orang lain untuk memberi masukan atau bahkan kritik. Tentunya, semua itu harus didasari dengan alur logic dan argumentasi yang kuat. Karena Andi Harun sendiri adalah tipe pemimpin yang argumentatif.


Jadi, tidak heran jika, sebagaimana penuturannya, ia sering mengajak para kepala dinas atau pejabat-pejabat yang lain untuk bertukar pikiran, berbagi ide dan masukan, bahkan mungkin kritik dan otokritik, dalam suasana yang asyik dan lebih rileks. Ia mendorong para pejabat itu untuk berani berbicara, berani menyampaikan pendapatnya, gagasan-gagasannya, ide-ide inovatifnya, argumentasi intelektual dan profesionalnya, bahkan evaluasi-evaluasinya atas kebijakan Pemerintah Kota Samarinda. 


Dalam hal ini, ia menjalankan kekuasaan politiknya secara terbuka, khususnya dalam menggerakkan roda pemerintahan yang dipimpinnya. Bukan ekseklusif, defensif, apalagi arogan. Baginya, kepemimpinan adalah tindakan dan contoh. Bukan instruksi buta dari balik pintu dan jendela. Karena itulah, ia lebih suka men- drive secara langsung gerbong pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya dan men- deliver gagasan-gagasan besar, tugas-tugas penting, dan prinsip-prinsip kepemimpinan ke orang-orang yang tepat.

Ia berusaha menjalankan seni kepemimpinan dengan cara yang elegan.


Landasan Moral dan Intelektual


Sebuah kepemimpinan tidak akan berjalan dengan baik jika tidak dilandasi dengan moralitas dan intelektualitas yang kuat. Ia juga tidak akan berjalan dengan efektif jika tidak didukung dengan manajemen kepemimpinan yang baik. 


Andi Harun, dalam hal ini, berusaha menjadi pemimpin yang baik dan efektif itu. Ia punya landasan moral dan intelektual yang kuat. Pertama, latar belakangnya sebagai santri dan aktivis Muhammadiyah membuatnya memiliki pijakan moral untuk menjalankan kekuasaan. Dalam hal ini, moralitas yang dipegang adalah moralitas agama. Ia percaya betul dengan pesan Nabi: Kullukum ra’in, wa kullukum masulun ‘an ra’iyyatihi (Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di hari kiamat). 


Kedua, ia adalah seorang intelektual dan pembaca buku yang serius. Ia memiliki latar belakang akademis yang mumpuni. Gelar doktornya merepresentasikan kualitasnya. Selain itu, ia memiliki idealisme yang kuat, yakni komitmen memperjuangkan sesuatu untuk kebaikan yang lebih luas. Ia juga memiliki kritisisme yang tajam. Hal inilah yang kemudian meneguhkan prinsipnya bahwa kekuasaan harus dijalankan dengan spirit kebaikan dan dengan cara-cara yang baik.


Ketiga, ia adalah politisi muda berpengalaman. Terhitung, ia pernah duduk di kursi parlemen, yakni Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur selama empat periode, sejak tahun 1999. Di periode terakhir ia mencalonkan diri sebagai calon Walikota Samarinda dan terpilih. Jadi, ia tahu betul apa yang akan dilakukannya sebagai seorang walikota


Teori Kutukan Kekuasaan


Yang paling menarik bagi saya adalah tentang Teori Kutukan Kekuasaan yang disampaikannya. Ia mengadopsi teori The Curse of Natural Resources (Kutukan Sumber Daya Alam) yang digagas oleh Richard Auty (1993). Auty, melalui teori ini, menggambarkan sebuah kontradiksi bagaimana negara-negara dengan sumber daya alam yang melimpah justru miskin secara ekonomi. Mereka gagal menyejahterakan rakyatnya tempat sumber daya alam itu berada. Hal ini diperkuat dan diteguhkan lagi dengan studi yang dilakukan oleh Jeffrey Sachs dan Andrew Warner (1995) yang menemukan bahwa justru ada korelasi yang kuat antara melimpahnya sumber daya alam dengan pertumbuhan ekonomi yang buruk. Kontradiksi ini juga jamak kita lihat di Indonesia.


Sementara itu, dalam Teori Kutukan Kekuasaan seseorang yang berkuasa jika ia melakukan sesuatu yang salah (yang berdampak buruk) atau ia tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan (karena pertimbangan tekanan politik atau kecurangan sistemik), maka ia akan dihantui rasa bersalah dan penyesalan seumur hidup. Dengan teori ini Andi Harun berusaha meyakinkan bahwa kekuasaan harus dijalankan dengan hati-hati sekaligus sungguh-sungguh, dan jangan menyimpang dari moralitas universal.


Sekilas tampak normatif, namun ini merupakan tantangan yang berat, karena ada pertarungan moral di sini. Terutama jika tekanan politik begitu kuat, atau godaan kecurangan begitu menekan. Di sinilah dilema terjadi, yakni ketika moralitas dan hati nurani mengatakan tidak sementara sistem mendesak iya. Dan dilema ini menjadi mimpi buruk yang akan mengikuti terus jika penguasa mengambil keputusan yang salah.


Sebenarnya, ini soal pertentangan nurani. Karena sesungguhnya manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat baik. Sehingga ketika ia melakukan tindakan yang sebaliknya, maka hatinya akan memberontak dan jiwanya tak akan pernah tenang. 


Karena itulah, seorang penguasa atau pemimpin politik harus punya prinsip dan karakter kepemimpinan yang kuat. Ia juga harus punya landasan moral yang teguh. Sehingga, tekanan apapun, hentakan apapun, serangan apapun, tak akan membuatnya goyah. 


Kutukan kekuasaan terjadi ketika seorang penguasa terjebak dalam dileme-dilema, kontradiksi-kontradiksi, dan paradoks yang tak bisa diselesaikannya. Ketika kekuasaannya berakhir, ia akan dihantui rasa bersalah yang menjadi mimpi buruknya seumur hidup.



_________________________

15 – 20 Juli 2022

Akmad Bustanul Arif adalah Sekretaris PCNU PPU, penulis buku, aktivis Jaringan Kampung Nusantara, konsultan program CSR dan pemberdayaan masyarakat, dan Direktur Yayasan Imadaya Suluh Nusantara. Tinggal di Penajam Paser Utara.