Tentang Pendidikan dan Sumartini, Si Jenius Berwatak Jawa -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Tentang Pendidikan dan Sumartini, Si Jenius Berwatak Jawa

Rusdi Al Irsyad
Rabu, 11 November 2020


Kalimantana.id, Pada beberapa keadaan, aku kadang meremehkan gelar akademik. Proses belajar, menurutku bisa didapat dari mana saja. Tak mesti sekolah, atau bangku kuliah.  


Itulah mengapa, aku santai saja dan cenderung tak peduli ketika banyak yang bilang ; 'Kenapa engga diselesaikan kuliahnya ?' atau ; 'Loh kukira kamu sarjana. SMA doang ? '


Perkataan semacam demikian, ku balas dengan wajah malas dan senyum sekenanya. Walaupun dalam hati misuh juga. Tapi, jujur aku benar se-tidak peduli itu. Pikirku, otak ini sama baiknya kerjanya dengan mereka yang menyandang gelar-gelar akademik itu. Hahaha, sombong kali lah. 


Sampai seorang kawan menawarkan pekerjaan yang prestisius. Kepala Biro Startup Media Daring Rintisan  berjaringan untuk wilayah Kalimantan Timur. Si kawan ini bilang  aku worthy. Hingga dia meminta aku  menyiapkan administrasi dan tetek bengek lainnya. 



Tapi, dia kaget ketika  menerima CV yang kukirim. 'Lah, kok  engga dimasukin ijazah Strata 1 nya ?' 


Kujawab dengan mantap. Lah emang enggak punya. SMA doang aku. Sambil menyelipkan emoticon ketawa besar dan banyak. 


Paham kan apa lanjutan cerita itu ? Haha. Batal coy. Gara-gara engga Es Satu. Selain 'kesotoyan' mendarah daging sejak lama, ijazah SMA yang ku dapat secara ajaib itu adalah satu-satunya rekam jejak akademik yang paling ku banggakan.


Tapi untuk diketahui, untuk mendapatkan ijazah SMA yang mungkin bagi banyak orang adalah hal yang mudah. Tidak begitu denganku. Kalau saja tidak di'tolong' Tuhan lewat tangan-tangan yang dikirim-Nya, mungkin ya aku juga tidak punya ijazah itu.


Salah satunya adalah teman lama yang sudah membersamai sejak masa SMP hingga SMA. 


Pada masa-masa sekolah. Kalian pasti punya kawan yang selalu menjadi tempat meminta bantuan saat menyeselsaikan PR, atau ujian. Tapi, pasti ada juga momen mereka menolak ngebantu dengan ungkapan heroik nan memotivasi, alias njancuki


"Makanya belajar, jangan main terus," 

Kalimat sejenis ini, sungguh sama sekali tak membangkitkan motivasi. Apalagi jika dikatakan ketika kamu baru saja bisik-bisik minta jawaban soal nomor 17, sambil sesekali menengok ke arah guru pengawas. 


Tapi, percaya atau tidak. Aku punya kawan yang hampir-hampir tak pernah menolak ketika diminta 'berbagi'. Semoga Panitia Seleksi Komisioner KPK tidak membaca ini ya. Haha. 


Namanya Sumartini. Kawan saya ini bisa dikatakan jenius. Mata pelajaran apapun dengan cepat diserapnya. Termasuk Kimia, Matematika dan Fisika. Deretan jenis pelajaran yang buat saya, adalah sesuatu yang hey, ngapain kalian diciptakan di dunia ini ? hahaha. 


Beruntung saya punya nama dengan huruf awal R. Jadilah, seringkali ketika ujian saya berada satu ruangan dengan Sumartini. Sepertinya Tuhan tahu, saya memang perlu bantuan. Maka Dia mendatangkan Sumartini ini. Hahaha. 


Walaupun cerdas dan hapal mati rumus-rumus, Sumartini tidak jadi orang 'kiri' yang tak berempati. Seperti namanya yang kental nuansa Jawa, begitu pula sikap dan tindak tanduknya. 


Ciri khas orang Jawa yang enggak enakan itu, saya manfaatkan dengan baik, benar dan tepat guna. Hahaha. Ya, saya tahu, saat genting seperti Ujian Nasional (UN) mustahil rasanya meminta bantuan teman, untuk sekadar membagi satu dua jawaban soal dengan metode pilihan ganda itu. 


Tapi, saya yang kepepet dan tahu benar bahwa kawan saya ini adalah orang Jawa yang enggak enakan, maka saya lancarkan lah jurus minta jawaban itu. Kode dimulai dengan berdehem. Batuk-batuk kecil. Sampai bersiul-siul. Wah kalau sekarang, saya batuk-batuk begitu pasti sudah dibopong sama Tim Satgas Covid-19. 


Sesuai dugaan, Sumartini menengok bahkan merespons dengan cepat. Diacungkan jari membantuk simbol-simbol huruf, yang dengan yakin bisa saya terjemahkan ke dalam lembar jawaban komputer (LJK). 


Alhamdulillah. Saya lulus SMA. Begitulah Sumartini. Selain enggak enakan, dia juga sosok wanita Jawa yang kalem dan lemah lembut. Sejauh saya mengenal dia kira-kira 9 atau 10 tahun lalu, hampir tidak pernah saya dengar dia bicara dengan nada tinggi, apalagi ngomong kasar. 


Itu pula, yang mengilhami saya dan beberapa kawan di kelas memanggilnya dengan sebutan Emak. Sifatnya yang ngemong seperti antitesis gaya pecicilan dan petakilan hampir semua kawan saya yang lain. 


Tiga hari lalu, Emak mengirim sesuatu di grup WhatsApp kelas yang cuma aktif setiap mau Ramadhan dan Idul Fitri doang. Lulusan Fakultas MIPA Universitas Mulawarman itu akan menikah. 


Sebagai anak eh kawan, pasti saya merasa ikut bahagia. Laki-laki yang dipilih Emak, punya tanggung jawab besar. Membahagiakan orang yang hobinya membahagiakan terlebih dahulu itu berat. Tapi, aku yakin Emak tak sembarang pilih.

 

Dari format gambar di ruang pesan itu, aku juga jadi tahu. Kalau resepsi dan akad nikah digelar di salah satu desa di Sebulu. Ada jarak terbentang sekira 80 kilometer dari tempatku tinggal kini, di Kota Samarinda. Aku ingat, betapa dengan tidak mikir-mikir Emak datang ke rumah mertuaku, di ujung Kecamatan Sambutan, untuk ikut berbahagia pada 'selamatan' pernikahan ku dengan istri. 


Sekarang ? Aku merasa sangat bersalah. Karena sukar sekali rasanya, membalas kunjungan itu. Pandemi Laknat ini, sudah mengekang aku dan keluarga kecil selama 7 bulan lebih. Pernikahan Emak, adalah satu diantara acara penting yang terpaksa harus kulewatkan. 


Tapi  aku tahu. Tanpa aku meminta pun, Emak pasti memahami. Rasanya begitulah dia, kawanku Si Jenius Berwatak Jawa yang selalu memahami. Dari jauh Mak, dari sini. Doa-doa baik ku kirim. Semoga pernikahan itu menjadi awal kebahagiaan selanjutnya, sesuai harapan dan keinginanmu. 

Happy Hajatan Wedding Mak. 


Rusdi