Apa Kiamat Datang Lebih Cepat ? Refleksi Idul Fitri, Banjir dan Corona -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Apa Kiamat Datang Lebih Cepat ? Refleksi Idul Fitri, Banjir dan Corona

Rusdi Al Irsyad
Minggu, 24 Mei 2020

Banjir merendam beberapa kawasan di Samarinda (Kalimantan.id)


Kalimantana.id, Belum selesai kebingungan akan ketidakpastian dari pandemi Covid-19, yang dengan kejam mengobrak-abrik tatanan kehidupan. Tak cuma ekonomi, sosial budaya, hingga agama, kini badai bukan berlalu. Justru makin kencang menrjang.

Anomali cuaca, dikombinasi pengelolaan drainase yang kurang tepat, membuat nyaris separuh wilayah di Kalimantan Timur, dan beberapa daerah lain di Indonesia dilanda banjir.
Bagi saya yang tinggal di Samarinda, sebenarnya ini bukan hal baru. Tahun 2018 lalu, persis sehari setelah perayaan Hari Raya Idul Fitri, air datang, dan bertahan selama satu pekan lebih.

Kejadian itu berulang, pada awal Januari 2020. Bukan genangan, atau banjir biasa. Ini akan dicatat dalam sejarah, sebagai banjir terburuk. Karena ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.
Lebih 2 bulan, masyarakat Indonesia  dipaksa mengurung diri di dalam rumah. Membatasi aktivitas luar rumah, dengan menjaga jarak dan mengenakan masker. Ini seperti mimpi buruk yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Ditambah banjir hari ini. Tepat, pada 1 Syawal 1441 Hijriah atau hari raya umat  Muslim.

Bayang-bayang merayakan Idul Fitri tanpa silaturahmi, tanpa saling berkunjung ke rumah sanak saudara dan kerabat saja, masih sulit diterima. Saat ini, kita harus menerima sekaligus bonus air banjir yang menggenangi jalan-jalan, hingga rumah penduduk.

Subuh tadi, sayup masih terdengar suara takbir melalui pengeras suara. Entah apa itu dari masjid, atau dari rumah pengurus masjid. Karena pemerintah juga melarang kegiatan takbir keliling.
Dari kontrakan saya di lantai 2, saya bisa melihat beberapa orang berduyun-duyun menggotong barang yang dikemas dengan plastik warna-warni.
Lantunan takbir, diiringi suara gemericik air yang terbelah ketika sepeda motor menerjang genangan air. Tak lama, suara erangan mesin menderu. Dan sedetik kemudian hilang suaranya.
Pasti motor itu mogok, karena dipaksa menerjang banjir.  

Seiring matahri mulai muncul, lalu lalang orang di jalan yang kini nampak seperti sungai itu, makin ramai.
Ya suara mereka yang hendak mengungsi,  beradu dengan suara takbir di masjid.
Maka hilanglah sukacita lebaran. Maka muramlah muka dunia.
Seorang senior wartawan, menyebut saya 'lebay' karena menanyakan kemungkinan adanya penularan virus lewat media air, saat suasana banjir.

Mungkin para pembaca juga akan menilai hal serupa, setelah membaca judul tentang kiamat. Tapi, apakah kita akan menutup mata, pada korban kasus Covid-19 di seluruh dunia yang mencapai belasan hingga ratusan ribu orang ?
Apakah ini bukan cara Tuhan, mengakhiri kehidupan di Bumi secara perlahan ? Atau, justru ini adalah cara Tuhan untuk memberi banyak pelajaran kepada manusia ?