Membela Gibran dan Memahami Pesan Tersirat dari Kata “Nanti Ya” -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Membela Gibran dan Memahami Pesan Tersirat dari Kata “Nanti Ya”

Rusdi Al Irsyad
Kamis, 16 Oktober 2025

Ada saat-saat di mana kata sederhana tiba-tiba terasa berat. Dua suku kata, tapi bisa menanggung beban satu negera. “Nanti ya,” misalnya. Ucapan yang tampak sepele, tapi berhasil membuat banyak orang kehilangan ketenangan. 

Ceritanya begini. Seorang ASN dari Jakarta yang ditempatkan di Ambon,  bertemu Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, lalu meminta pesan untuk para abdi negara. Wanita (yang sepertinya) muda  itu gercep mengaktifkan fitur kamera di ponselnya seketika melihat ada orang nomor dua di Republik ini di depan matanya. Meski hanya alat sedergana,  kamera tetaplah kamera. Karenanya tak heran putera pertama Presiden Jokowi itu sadar betul posisinya. 

Tetapi, ayah dari Jan Ethes justru tampak diam, sesaat setelah pertanyaan selesai dilontarkan. Alih-alih langsung merespons, beberapa detik yang ganjil itu seperti ruang kosong yang menimbulkan rasa tidak nyaman bagi bangsa yang terbiasa dengan sat set wat wet ini. Lalu akhirnya ia berkata pelan, “nanti ya.”

Sudah. Hanya itu. Tapi di negeri yang bahkan loading screen saja bisa jadi bahan debat, dua kata itu cukup untuk membuat dunia maya berguncang. Ada yang bilang ia bingung. Ada yang menuduh ia tidak siap. Ada juga yang, mungkin karena kelebihan waktu luang, membuat narasi seolah “nanti ya” adalah simbol kebodohan politik nasional.

Padahal, bisa jadi itu cuma bentuk kejujuran paling sederhana yang tersisa dari seorang anak muda yang kebetulan pejabat tertinggi kedua di negara ini. Ia mungkin sedang mengakui bahwa tidak semua hal bisa langsung dijawab.


Tapi masyarakat kita memang punya hubungan rumit dengan diam. Kita selalu ingin semuanya cepat, termasuk berpikir. Kalau bisa, kalimat baru selesai ditanya, jawaban sudah keluar layaknya sesi rebutan di acara Clash of Clans


Simone Weil, seorang pemikir Prancis yang hidup di antara perang dan roti yang tak cukup dibagi dua, pernah menulis bahwa perhatian adalah bentuk kebaikan paling murni. Menurutnya, manusia sejati adalah mereka yang bisa diam sepenuhnya ketika sedang memperhatikan sesuatu. Mungkin Mas Gibran sedang melakukan itu: memerhatikan pikirannya sendiri.


Pada bagian lain, sebenarnya kita sedang dipaksa mengakui bahwa orang Indonesia tak terbiasa melihat pejabat berpikir di depan kamera. Entah karena kecerdasannya, keahlian public speakingnya, atau ya emang mereka yang penting ngomong dulu mikirnya entar, tapi budaya kita adalah menyaksikan jawaban-jawaban cepat dari para pejabat. 


Mungkin karena biasanya mereka sudah punya skrip. Kalimat sudah disiapkan sebelum pertanyaan selesai. Suara tegas, gestur mantap, walaupun sering kali isi kalimatnya macam martabak yang setengah maten. Bagian luar terlihat garing, tapi di dalamnya masih mentah dan lengket. Maka ketika ada yang diam sejenak, kita bingung harus menaruhnya di mana.


Socrates, kalau hidup di era media sosial, mungkin juga akan dikira “plonga-plongo.” Ia suka diam lama, bertanya lagi, lalu menyela dengan kalimat yang malah bikin orang lain tambah bingung. Tapi dari dialah kita belajar bahwa berpikir itu bukan urusan cepat-cepatan. Bahwa diam tidak selalu berarti kosong. Kadang itu tanda bahwa ada sesuatu yang sedang diracik di dalam kepala.


Nah barangkali, itu-lah yang sedang eh atau seringkali dilakukan Mas Gibran ini. 

Menurut saya, pada level tertentu filsafat barangkali lahir dari kata “nanti.” Karena di dalamnya ada kesadaran bahwa kebenaran tidak datang sekaligus. Ia butuh waktu, seperti adonan martabak yang harus dibiarkan mengembang sebentar sebelum digoreng.


Plato menggambarkan manusia sebagai penghuni gua yang sibuk menatap bayangan di dinding. Bayangan itu membuat mereka percaya sudah tahu segalanya. Sekarang gua itu berubah jadi layar ponsel. Kita menatap video berdurasi sepuluh detik, lalu merasa sudah memahami seluruh isi kepala seseorang. Padahal yang kita lihat hanya pantulan cahaya dari peristiwa yang sudah lewat.


Mungkin Mas Gibran hanya sedang berusaha jujur. Ia tidak mau asal bicara. Ia tidak ingin suaranya terdengar manis tapi kosong. Ia hanya butuh waktu. Dua detik saja. Eh apa lebih ya? Tapi sekali lagi, kalian khan tydack suka menunggu. Nanti sejatinya adalah batas untuk kebijaksanaan loh. Bersabarlah. 


Michel Foucault pernah bilang bahwa diam juga punya kuasa. Dalam diam, seseorang bisa menentukan ritmenya sendiri. Ia bisa menolak untuk ikut dalam tempo dunia yang terlalu cepat. Barangkali “nanti ya” adalah cara Mas Gibran melawan dunia yang selalu ingin memaksanya tampil siap.


Hannah Arendt, sejarawan dan filsuf yang 14 Oktober kemarin harusnya berusia 119 tahun  menulis bahwa kejahatan bisa muncul dari ketidaksanggupan berpikir. Banyak keputusan besar di dunia ini lahir dari orang-orang yang tidak memberi jeda pada pikirannya sendiri. Maka mungkin, di balik “nanti ya,” ada semacam tanggung jawab moral untuk tidak sembarangan mengucap sesuatu.


Kierkegaard, filsuf Denmark yang sendirian di tengah kota dingin, menulis bahwa manusia sering sembunyi di balik kata-kata untuk menutupi kekosongan batin. Karena itu, kadang diam justru bentuk keberanian. Orang yang diam sedang menghadapi dirinya sendiri, bukan melarikan diri.


Camus, si pengagum absurditas, mungkin akan tersenyum melihat semua ini. Dalam dunia yang sibuk menertawakan, “nanti ya” bisa dianggap bentuk kecil dari perlawanan. Perlawanan terhadap obsesi kita pada kepastian.


Lucunya, dua kata itu kini jadi bahan olok-olok nasional. Padahal jika dipikir, “nanti ya” adalah bahasa yang paling jujur yang pernah kita dengar dari pejabat publik. Lebih jujur daripada “kami akan menindak tegas,” lebih manusiawi daripada “sudah kami antisipasi.” Karena jujur saja, berapa banyak hal di negeri ini yang memang butuh “nanti” sebelum bisa jadi “ya”?


Kita hidup di negara di mana deadline sering jadi guideline, dan janji kadang sekadar formalitas. Tapi dua kata “nanti ya” dari mulut seorang pejabat muda justru terasa bersih (eh ini aku berlebihan gak sih? Wkwkwk) tidak dikemas, tidak dimaniskan, tidak dipoles. Ia seperti nasi putih tanpa lauk, tapi justru karena itu rasanya jujur.


Simone Weil menulis bahwa perhatian adalah doa dalam bentuk lain. Dan mungkin benar. Sebab butuh keberanian untuk diam di hadapan kamera. Butuh kejujuran untuk mengakui bahwa diri sendiri belum siap menjawab.


Kita terlalu sering menertawakan diam, padahal kita sendirilah yang takut pada hening. Dalam diam, ada risiko berhadapan dengan kenyataan bahwa kita tidak tahu segalanya. Maka lebih mudah bagi kita untuk mengolok daripada memahami.


Namun pada akhirnya, dua kata itu mungkin akan tetap hidup di ingatan kita. “Nanti ya,” bukan sebagai tanda kebingungan, tapi sebagai pengingat bahwa berpikir masih butuh waktu.


Kita boleh mengolok, boleh menertawakan, boleh menulis meme dan membuat potongan video. Tapi di tengah tawa itu, barangkali ada sedikit rasa iri. Iri pada seseorang yang masih punya keberanian untuk tidak tahu, setidaknya untuk sesaat.


Karena di dunia yang selalu memaksa kita segera menjawab, menunda mungkin satu-satunya cara tersisa untuk tetap waras.


Rusdianto

Samarinda, 16 Oktober 2025