Menggugat Budaya Adu Nasib dan Merawat Ruang Aman Bersama -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Menggugat Budaya Adu Nasib dan Merawat Ruang Aman Bersama

Rusdi Al Irsyad
Jumat, 22 Agustus 2025

 

“Perbandingan adalah akhir dari kebahagiaan dan awal dari ketidakpuasan.” Kalimat ini ditulis oleh filsuf Søren Kierkegaard di dalam salah satu jurnal pribadinya. Sebuah pemikiran dari abad ke-19 yang terasa begitu relevan, seolah sedang mendiagnosis penyakit kronis dalam cara kita berinteraksi hari ini. Terutama saat bicara soal luka.

Adegan ini pasti pernah Anda saksikan, atau mungkin, Anda sendiri pelakunya. Di sebuah percakapan, seorang kawan akhirnya berani bersuara. “Pekerjaan ini benar-benar menguras mentalku,” ujarnya, “Rasanya aku di ambang batas.” Hening sejenak. Ada harapan di sana, harapan akan sebuah anggukan, sebuah pengakuan. Tapi yang datang justru kalimat pamungkas yang mematikan segalanya: “Itu belum seberapa. Coba kamu jadi aku…”


Selesai. Seketika, panggung direbut. Cerita yang baru saja coba dibagikan langsung layu sebelum berkembang, dianggap kurang layak tanding. Tanpa sadar, kita semua terseret dalam sebuah kompetisi aneh yang tak berhadiah, sebuah olimpiade kesedihan. Kita menyebutnya budaya adu nasib. Dan di arena ini, tidak ada pemenang. Yang ada hanya rasa sepi yang makin menjadi-jadi. Mungkin sudah saatnya kita berhenti ikut-ikutan, bahkan jika perlu, membubarkan lombanya sekalian.




Kenapa ini sering terjadi? Niatnya sering kali tidak jahat. Sungguh. Refleks untuk menimpali cerita sedih dengan cerita yang lebih sedih adalah upaya kita yang canggung untuk bilang, “Aku paham.” Kita kira, dengan menyodorkan penderitaan tandingan, kita sedang membangun jembatan. Nyatanya, kita sedang menggali parit pemisah. Psikologi punya istilah untuk ini: invalidasi. Sebuah pesan tersembunyi yang artinya, “Lukamu itu biasa saja. Belum cukup parah untuk dibahas.”


Efeknya meremukkan. Bebannya? Diremehkan. Semua rasa lelah dan cemas yang susah payah ia utarakan seolah menguap, dianggap tidak sah. Yang tersisa hanya malu karena merasa sudah berlebihan. Dan pelajaran pahit yang ia dapat: lain kali, lebih baik diam. Siklus destruktif ini terus berputar, menciptakan masyarakat yang takut untuk jujur tentang kesehatan mentalnya, kecuali jika ceritanya sudah cukup tragis untuk dijadikan tajuk utama.




Dan ini bukan cuma soal obrolan di warung kopi. Efeknya menjalar ke mana-mana, merusak cara kita memandang penderitaan sebagai sebuah komunitas. Hierarki ganjil pun tercipta. Masalah kesehatan mental dianggap lebih ringan dari masalah ekonomi. Patah hati dianggap drama remaja. Padahal, seperti yang ditulis C.S. Lewis dalam bukunya A Grief Observed, rasa sakit itu absolut bagi yang mengalaminya. Sakit gigi, katanya, meski sepele bagi orang lain, bisa memenuhi seluruh semesta bagi si penderita. Budaya kompetitif ini hanya memberi panggung bagi mereka yang paling keras berteriak, sementara penderitaan yang hening dibiarkan tak bersuara.


Maka, apa penawarnya? Satu kata: validasi. Validasi bukan berarti setuju. Bukan pula memberi solusi. Validasi adalah pengakuan. Sesederhana mengatakan, “Aku dengar kamu,” atau “Pasti berat ya rasanya.” Kalimat-kalimat ini ajaib. Ia tidak melakukan apa-apa selain membuka sebuah ruang aman bagi seseorang untuk menjadi manusia seutuhnya dengan segala perasaannya.




Peneliti kerentanan Brené Brown, dalam bukunya Daring Greatly, sudah lama mengingatkan kita soal ini. Ia membedakan empati dari simpati. Simpati itu berjarak, seolah berkata “kasihan ya kamu” dari seberang jurang. Empati, sebaliknya, adalah turun ke dalam jurang itu dan berkata, “Aku di sini menemanimu.” Validasi adalah bahasa ibu dari empati. Ia adalah praktik nyata dari niat baik kita.


Prinsip ini sebenarnya sudah lama ada. Psikolog legendaris Carl Rogers, dalam mahakaryanya On Becoming a Person, menyebutnya unconditional positive regard, atau penerimaan tanpa syarat. Rogers percaya, manusia bisa tumbuh dan sembuh jika ia berada di lingkungan yang menerimanya apa adanya. Konsep hebat ini tidak harus terkunci di ruang terapi. Kita bisa membawanya ke dalam obrolan kita sehari-hari. Caranya adalah dengan melatih telinga kita untuk mendengar, bukan untuk membalas. Menahan hasrat untuk cepat-cepat "memperbaiki" keadaan. Dan membiasakan diri untuk sekadar hadir, menemani dalam diam jika memang tidak ada kata yang tepat untuk diucapkan.




Pada akhirnya, menolak ikut dalam lomba duka adalah sebuah sikap. Keputusan sadar untuk tidak lagi menggunakan luka sebagai alat ukur. Luka kita bukanlah proposal untuk diperdebatkan kelayakannya, ia adalah undangan untuk sebuah hubungan yang tulus. Sebuah undangan bagi orang lain untuk mendekat, untuk mengingatkan kita bahwa kerapuhan inilah yang justru membuat kita semua terhubung sebagai manusia. Mari kita terima undangan itu, bukan dengan penolakan atau perbandingan, tapi dengan sebuah penerimaan. Mari kita mulai dari percakapan kita yang berikutnya.


Rusdianto

Samarinda, 22 Agustus 2025