“Manusia paling tidak menjadi dirinya sendiri saat bicara sebagai pribadinya,” tulis Oscar Wilde dalam esainya The Critic as Artist. “Berikan ia sebuah topeng, dan ia akan mengatakan yang sebenarnya.” Paradoks brilian dari Wilde ini, meski ditulis lebih dari seabad lalu, adalah kunci untuk membuka misteri yang sering membuat kita geram: mengapa pejabat publik sering bicara hal-hal yang terkesan tak dipikirkan?
Mungkin selama ini kita salah membacanya. Mungkin blunder verbal, atau “keceplosan”, bukanlah sebuah kegagalan berpikir. Bagaimana jika itu adalah momen langka di mana topeng itu terlepas, dan kejujuran yang brutal dan tidak terpoles justru bocor keluar? Alih-alih marah karena seorang pejabat terdengar tidak bisa berpikir, mungkin kita seharusnya mulai menganalisis apa yang sesungguhnya diungkapkan oleh pikirannya. Karena sering kali, pernyataan kontroversial itu bukanlah sebuah kesalahan, melainkan sebuah jendela yang terbuka sesaat, memberi kita pemandangan langka ke sebuah lanskap realitas yang sama sekali berbeda dari planet yang kita tinggali.
Untuk memahami ini, kita bisa meminjam kacamata dari sosiolog Erving Goffman. Dalam bukunya yang fundamental, The Presentation of Self in Everyday Life, Goffman memperkenalkan gagasan bahwa kehidupan sosial adalah sebuah pementasan drama. Setiap individu, terutama pejabat publik, beroperasi di dua panggung. Ada “panggung depan” (front stage), tempat mereka menampilkan versi diri yang sudah disiapkan dan dipoles. Di sinilah kita melihat pejabat yang santun, merakyat, dan berbicara dengan kalimat terukur penuh empati.
Lalu ada “panggung belakang” (back stage). Ini adalah ruang privat tempat topeng dilepas. Di sinilah frustrasi, sinisme, dan pendapat asli dibicarakan dengan bebas. “Keceplosan” adalah insiden langka dan berharga: sebuah momen di mana naskah dari panggung belakang secara tidak sengaja terucap di panggung depan.
Ingat polemik saat seorang Menteri Keuangan membahas anggaran guru? Frasa “guru beban negara” sempat viral dan memicu kemarahan, dan meskipun kemudian diklarifikasi sebagai hoaks, substansi pernyataan aslinya tetap menyingkap sesuatu. Pernyataan itu, yang diucapkan dalam bahasa teknokratis tentang alokasi anggaran dan transfer ke daerah, pada dasarnya membingkai gaji guru sebagai pos pengeluaran masif dalam APBN. Dari perspektif “panggung belakang” seorang bendahara negara yang pusing mengatur neraca, setiap pengeluaran triliunan rupiah memang sebuah “beban” fiskal. Logika ini sahih di ruang rapat anggaran. Blundernya adalah menyuarakan bahasa spreadsheet ini ke “panggung depan”, di mana guru adalah “pahlawan tanpa tanda jasa” dan “investasi masa depan bangsa”. Keceplosan itu adalah kejujuran seorang akuntan negara yang secara tidak sengaja mengungkapkan bahwa dalam realitas mereka, manusia sering kali dilihat sebagai angka.
Contoh lain yang tak kalah gamblang datang dari Senayan. Ketika seorang anggota DPR RI dengan percaya diri membela kenaikan gaji atau tunjangan fantastis, seperti tunjangan rumah hingga puluhan juta rupiah, publik meradang. Di “panggung depan”, mereka akan berbicara tentang martabat lembaga atau peningkatan kinerja. Namun, pernyataan pembelaan itu sejatinya adalah bocoran dari “panggung belakang”. Ia adalah jendela transparan ke sebuah realitas di mana uang puluhan juta rupiah per bulan untuk urusan papan adalah sebuah kewajaran, bukan kemewahan. Itu adalah kejujuran tentang standar hidup mereka, yang ternyata begitu jauh dari standar hidup mayoritas masyarakat yang mereka wakili.
Maka, argumen bahwa para pejabat itu “bodoh” atau “tidak bisa mikir” sebenarnya adalah sebuah penyederhanaan yang berbahaya. Menganggap mereka bodoh membuat kita merasa superior, tetapi itu menutup pintu untuk analisis yang lebih penting. Kenyataannya sering kali lebih meresahkan: mereka adalah orang-orang yang cerdas dan rasional, namun operasional logika mereka didasarkan pada seperangkat data dan pengalaman hidup yang sama sekali berbeda dari kita. Logika mereka bekerja dengan sempurna di dalam gelembung mereka. Blunder terjadi saat logika itu terpapar udara di luar gelembung dan ternyata tidak kompatibel dengan realitas mayoritas.
Lalu, apa yang harus kita lakukan dengan kejujuran yang tertunda ini? Tentu, kemarahan publik itu valid dan perlu. Tapi setelah itu, kita harus melihatnya sebagai data. Setiap blunder adalah data sosiologis mentah yang menunjukkan seberapa dalam jurang pemisah antara kelas penguasa dan warga negara. Pernyataan mereka adalah alat diagnostik yang paling akurat untuk mengukur tingkat keterputusan elite politik. Ia menunjukkan dengan tepat mengapa sebuah kebijakan, yang mungkin terlihat brilian di atas kertas, akan gagal total saat diterapkan, karena pembuatnya tidak pernah benar-benar memahami kehidupan orang-orang yang akan terdampak.
Oscar Wilde benar. Topeng memang memungkinkan kebenaran keluar. Dalam kasus pejabat publik, justru saat topeng itu tidak sengaja terlepaslah kita melihat kebenaran yang paling jujur. Mungkin politisi yang paling berbahaya bukanlah mereka yang sering “keceplosan”, melainkan mereka yang penampilannya begitu sempurna, yang topengnya tidak pernah retak sedikit pun. Merekalah yang pikiran sejatinya di panggung belakang tetap menjadi misteri abadi.
Jadi, lain kali kita mendengar sebuah pernyataan kontroversial dari kursi kuasa, mari kita ambil jeda sejenak setelah marah. Mungkin kita patut berterima kasih atas momen kikuk itu. Ia memang menyakitkan dan sering kali menghina, tetapi ia juga seberkas cahaya yang jujur, yang menerangi kita tentang seberapa jauh jarak antara dunia mereka dan dunia kita.
Rusdianto
Samarinda, 23 Agustus 2025