Episentrum Pulau Atas dan Terbentuknya Ragam Bahasa Baru -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Episentrum Pulau Atas dan Terbentuknya Ragam Bahasa Baru

Rusdi Al Irsyad
Selasa, 25 November 2025

Di Pulau Atas, sebuah wilayah administratif yang sudah ada sejak era Kesultanan Kutai, yang kini menjadi salah satu episentrum kekuasaan di Kalimantan Timur, terbentuk ragam bahasa yang unik. Penyematan istilah episentrum kekuasaan itu, tidak berlebihan bukan? Ia adalah mutlak belaka secara defacto sebagai (salah satu) tempat tinggal utama Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas'ud, orang nomor satu di Bumi Etam saat (tulisan) ini (dibuat), bersama istrinya, yang juga Anggota DPR RI, yang juga Bunda Literasi. Tidak menutup kemungkinan, keputusan-keputusan besar, pengambilan kebijakan yang memengaruhi 4,2 juta penduduk Kalimantan Timur atau bahkan mungkin masyarakat Indonesia, diambil di sana, di Pulau Atas. Meski tak yakin episentrum ini punya peranan, tapi tak ada salahnya kita mencermati lahirnya ragam bahasa lisan yang unik, hasil bertemunya sejumlah budaya bahasa. Populasi Pulau Atas diisi oleh sebagian besar perantau. Wilayah seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi hingga daratan Tiongkok adalah pemasok utamanya. Karenanya, lingua franca di wilayah ini yang juga meliputi MakromanSindang Sari, dan Pulau Atas adalah akulturasi dari budaya yang dibawa para perantau yang saling terhubung. 


Ini bisa dibilang sangat berbeda dengan bahasa Banjar Samarinda, yang jadi bahasa sehari-hari di Ibu Kota Kalimantan Timur. Pengaruh ragam bahasa dari wilayah Sulawesi juga tak sekuat sebagaimana yang terjadi di Kota Balikpapan, BontangSangatta atau Berau. Di Pulau Atas, akan sangat mudah ditemui orang-orang yang berbicara dalam bahasa Indonesia, dengan aksen Banjar, dengan tambahan partikel "ater-ater" "seselan" atau bahkan "penambang" khas Bahasa Ngapak, atau Banyumasan.

Bukan hanya Ngapak, partikel akhiran khas Banjar Samarinda seperti: "iya kalo?" lazim sekali digunakan bersamaan secara setara bersama partikel awalan dari bahasa Ngapak dalam satu kalimat. 

"Kamu mbok masih SMP? Sekolah di Miftahul Ulum kalo?" 

Artinya: "Kamu bukannya masih SMP ya? Sekolah di Miftahul Ulum (nama yayasan pendidikan di Makroman) kan?"

Ragam tutur ini tidak hanya dipakai oleh orang dewasa, tetapi juga remaja, bahkan anak-anak (sependek pengamatan saya) turut menggunakannya. Pusat-pusat kebudayaan seperti lapak Paklek Pentol Los Dol, di Jalan Poros Makroman, atau Kedai Sendang di seberang Lapangan Sindang Sari adalah wadah konkret implementasi dan berkembangnya bahasa ini. 

Di tengah pelbagai serbuan globalisasi hingga gangguan kebudayaan, manusia-manusia Pulau Atas tetap menggigit bahasanya dengan gigi geraham. Ia merupa saluran positif dari implementasi menjaga budaya bangsa. Sadar akan muasalnya, orang Pulau Atas tak akan berkeras budi mendaku kata ini kata itu, sebagai milik mereka. Yakin sekali, mereka tidak akan punya waktu sekadar mendaftarkan kata "Mbok" ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, meski tiap hari lidah mereka akrab dengannya. 

Pada gilirannya, siapapun kita, nantinya akan ada datang suatu masa di mana harus berkunjung ke sana, ke Pulau Atas. Saat waktunya tiba, kita sudah tahu, kita akan bicara dengan bahasa apa. 

Iya mbok? 


Rusdianto 

Samarinda, 14 November 2025