Raka dan Si Ular Lembu -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Raka dan Si Ular Lembu

Rusdi Al Irsyad
Selasa, 25 November 2025

Malam ini, seperti 3 malam sebelumnya aku duduk di depan laptop menatap layar kosong. Di atas file tertulis “Tugas Akhir-Kearifan Lokal.” Tapi pikiranku mentok. Ujungnya, aku hanya bengong dan menghabiskan waktu dengan gim di ponsel, lalu menutup laptop tanpa menulis apa-apa. Aku mahasiswa jurusan film di Institut Kesenian Jakarta. Sejak masuk di semester akhir, bukannya senang karena bakal segera lulus, aku justru terus dihantui dengan tugas akhir, yaitu memproduksi film. Dosen pembimbing bilang, “cari cerita dari daerah asalmu.”Sebuah kalimat yang dulu ketika kudengar saat awal masuk kuliah kuanggap sebagai sebuah mimpi besar. Aku yakin sekali, suatu saat pasti bisa menghasilkan karya yang membawa cerita dari kampungku ke layar film. Sayangnya, aku justru kesulitan ketika benar-benar pengin merealisasikannya.

Aku lahir dan besar di Sebulu, sebuah kampung di tepian Sungai Mahakam, Kabupaten Kutai Kartanegara. Sebuah wilayah yang sarat cerita, karena kampungku katanya sudah eksis bahkan sejak era Kesultanan Kutai, ratusan tahun lalu. Tetapi, aku hanya ‘numpang lahir’ di sana. Sebagian besar umur kuhabiskan di Jakarta untuk bersekolah. Rasanya aku bahkan sudah lupa bau tanah di kampung kelahiranku itu.


Sore itu telepon dari Mama masuk.

Ka, nenek bini sakit. Awak mulang yoh.”

(Ka, nenek sakit. Kamu pulang ya)
Aku diam. Ingin rasanya tidak usah menjawab dan pura-pura tidak pernah ada pembicaraan ini. Tapi mau bagaimana lagi, kuberanikan diri menjelaskan.  “Aku lagi dikejar tugas, Ma. Kalau aku tinggal, bisa gagal sidang.”
Di seberang sana, Mama terdengar menghela napas. Aku yakin, Mama juga sangat memahami apa yang kuhadapi. Tetapi jawaban Mama berikutnya bikin aku kaget.

Mun awak nde mulang, nyesal awak kupadahi.”

(Kalau kamu tidak pulang, bisa menyesal seumur hidup nanti)

Aku tidak menjawab, dan sambungan telepon berakhir. Tapi dua jam kemudian Papa mengirim pesan: Tiket sudah dipesan. Pulang besok. Aku menyerah.

Perjalanan dari Jakarta ke Samarinda hanya dua jam naik pesawat, tapi rasanya panjang sekali. Lalu aku lanjut naik mobil ke Sebulu, dengan durasi yang sama. Rumah kayu kami masih sama, di tepi jalan kecil, dekat Sungai Mahakam. Saat masuk, aroma minyak kayu putih bercampur dengan suara ayam dan desir sungai.

Nenek terbaring di kamar. Wajahnya pucat tapi masih sempat tersenyum saat melihatku.
Ah, Raka, awak mulang jua,” katanya lemah.

(Raka, cucuku kamu pulang juga)
Aku menggenggam tangannya. “Iya, Nek. Aku pulang.”

Besar dah awak Ka, tegak apa kuliah? Amun dah lulus, mulang Sebulu yoh, dengani nenek sini,”

(Kamu sudah besar ya, bagaimana kuliahmu? Kalau sudah lulus, pulang ke Sebulu ya temani nenek)

Aku tak mampu menjawab dengan kata-kata. Melihat sorot mata Nenek, yang bisa kulakukan cuma mengangguk sambil terus memegang tangannya.

Malamnya dosenku menelpon. “Raka, kirim judul film-mu sekarang. Minggu ini batas akhir.”
Aku keluar rumah supaya tak mengganggu nenek. “Pak, saya di kampung. Nenek saya sakit.” Jawabanku terdengar seperti alasan klasik yang biasa disampaikan mahasiswa malas. Aku yakin sekali, dosenku pasti sudah ratusan atau mungkin ribuan kali mendengar jawaban serupa dari mahasiswa-mahasiswa sebelum aku.
“Saya paham, tapi kalau tidak dikirim, kamu bisa tertunda setahun.”

Setelah panggilan itu aku gelisah. Di satu sisi nenekku terbaring lemah, di sisi lain masa depan harus kukejar di Jakarta. Dengan hati gamang, subuh-subuh aku memutuskan pergi. Aku hanya meninggalkan pesan di meja, “Aku ke kota, dua hari saja.”

Begitu sampai di Jakarta, sebelum sempat membuka laptop, pesan dari Mama masuk: Nenek sudah meninggal.

Aku hanya bisa duduk. Dada sesak. Aku bahkan tidak sempat minta maaf, dan berpamitan pada Nenek.

Tiga hari kemudian aku kembali ke Sebulu untuk mengunjungi makam nenek. Hujan tipis turun, tanah merah masih lembek. Aku berdiri lama di depan makam. Kakek memegang payung di sampingku. “Dah, dah. Yok etam mulang. Dodong kela awak.”

(Sudah nak, ayo kita pulang, nanti kamu kelelahan)

 

Di rumah, suasana hening. Kami duduk di teras menatap sungai di kejauhan. “Dulu nenekmu suka mandi di sungai itu,” kata Kakek memecah keheningan. Aku tahu, dari nada bicaranya, Kakek hanya ingin mengusir kesedihan dan rasa bersalahku, setelah mendengar aku dimarahi Mama dan Papa setibanya aku di Sebulu. Sebuah usaha yang tak bisa dibilang mudah, mengingat bisa jadi, Kakek-lah yang paling sedih kehilangan Nenek.

“Tapi pernah ada kejadian yang membuat dia akhirnya berhenti.”
Aku menoleh.

“Kenapa, Nek?” Aku memanggil Kakek dengan panggilan Nenek Laki.

(Nenek laki, adalah sebutan untuk Kakek dalam Bahasa Kutai)


“Saat masih gadis dulu, dia hampir tenggelam. Ada pusaran air besar muncul tiba-tiba, saat dia berenang bersama teman-temannya. Dia bilang sempat melihat kepala besar seperti lembu dengan badan panjang. Orang sini menyebutnya ular lembu.”

Aku mengernyit. “Ular lembu?”
Kakek mengangguk. “Makhluk raksasa yang dipercaya hidup di Mahakam. Badannya sebesar drum, panjangnya bisa selebar sungai. Kepala seperti lembu, matanya merah. Orang percaya, kalau muncul pusaran air atau tanah tepi sungai runtuh, berarti dia lewat.”

Aku menatap sungai yang tampak tenang di permukaannya. Aku dan kakek tak  saling memandang, tapi aku benar-benar tertarik dengan cerita Kakek.
“Tahun 2011 di Sebulu ada tanah ambrol,” lanjut Kakek. “Tiga belas rumah jatuh ke sungai, satu masjid ikut roboh. Banyak yang yakin itu ulah ular lembu.”
“Mungkin karena erosi,” jawabku pelan,sambil membenarkan poisisi duduk. Kali ini, aku menghadap ke arah Kakek.
Kakek tersenyum. “Bisa saja. Tapi orang kampung percaya, sungai ini hidup. Kadang alam menegur kalau manusia lupa.”

Aku membayangkan kejadian hari itu. Saat Nenek nyaris terseret arus, dan tentu saja, penasaran bagaimana bentuk si ular lembu itu? “Tapi cerita ular-ular besar di sungai ini kan banyak ya, Nek. Apa ada buktinya atau cerita lain soal ular lembu ini?”

Kakek berdiri, mengambil satu langkah pendek lalu mengaitkan kedua tangannya ke belakang punggung. Sambil sedikit mendongak, ia melanjutkan cerita.

“Tahun 1980-an, ada seorang Jenderal TNI yang tugas di Samarinda. Suatu sore, dia yang hobi olahraga di tepi sungai, tiba-tiba mencium bau amis yang sangat pekat. Lalu dia lihat ular yang sangat besar dan panjang. Sangking besarnya, si jenderal ini terkejut dan berlari tak tentu arah. Saat itu, dia kebingungan dan ketika diminta menceritakan apa yang dilihatnya, sang jenderal bilang bahwa ia baru saja melihat ular naga.”

Aku membatn, cerita yang satu ini, terdengar lebih realistis. Tapi kenapa naga? “Kok naga, Nek?” Kakek mengok ke arahku. Dilemparnya sesungging senyum.

“Tentu saja itu bukan naga, Ka. Jenderal itu punya referensi yang sedikit tentang ular lembu. Tentu saja, karena Beliau bukan orang Kalimantan. Wajar kalau tak tahu. Tapi Nenek yakin, itu pasti ular lembu.”

Aku hanya mengangguk.

Malam itu aku tidak bisa tidur. Suara air sungai terdengar sampai ke kamar. Aku ingat wajah nenek di ranjang dan rasa bersalah yang menyesakkan dada.

Keesokan paginya aku ikut Kakek ke tepi sungai. Udara lembap, enceng gondok mengalir pelan di permukaan. “Di sinilah dulu nenekmu hampir tenggelam,” kata Kakek sambil menunjuk ke tengah. “Waktu itu Nenek masih muda, lagi mancing di seberang. Nenek dengar teriakan orang-orang, langsung nyebur tanpa pikir panjang, narik Nenek Bini-mu dari pusaran. Setelah itu, dia tidak pernah mau mandi di sungai lagi.”

Aku menatap permukaan air. Dari kejauhan tampak pusaran kecil terbentuk di antara enceng gondok, lalu hilang begitu saja. Entah kenapa aku merinding.

“Awak tahu, Ka,” kata Kakek, “orang-orang dulu percaya ular lembu itu bukan makhluk jahat. Dia penjaga sungai. Kalau sungai kotor atau ditebangi habis pohon di hulunya, dia marah. Tapi kalau dijaga, dia diam saja. Tidur di dasar Mahakam.”

Aku mengangguk. “Berarti bukan takut, tapi hormat, ya Nek?”
Kakek tersenyum.

Au, beneh. Alam nde gela perlu ditakuti, tapi harus etam hargai,”

(Iya, betul. Alam tidak perlu ditakuti, tapi harus kita hargai)

 

Ada cerita lawas, Ka ye rancak dikesahkan urang bahari,”

(Ada cerita lama, Raka. Ini yang sering dikisahkan oleh orang zaman dahulu)

 

“Dulu, sebelum jembatan Mahakam dibangun. Ada nelayan yang sedang mencari ikan dengan perahu. Ia melihat seekor hewan menyeberang. Karena penasaran, dikejarlah hewan itu yang dari jauh tampak seperti kijang atau payau (jenis rusa khas Kalimantan).”

 

“Kijang atau payau bisa berenang, Nek?” aku demikian penasaran sampai tak sengaja memotong cerita Kakek.

 

“Tentu saja bisa, selain itu ada beberapa bagian sungai yang tidak terlalu lebar,” Kakek menjelaskan.

 

“Terus, terus Nek?” aku menagih kelannjutan ceritanya.

 

“Ya, jadi karena mengira itu kijang atau payau, si nelayan cepat-cepat mengejar dan segera mengaitkan tali ke bagian kepala hewan itu. Saat dihampiri lebi dekat, kepala hewan itu ternyata lebih mirip lembu lengkap dengan tanduk dan matanya yang besar. Alangkah senangnya si nelayan, tangkapan besar ini. Selang beberapa saat, ketika sedang fokus memacu perahunya, si nelayan merasa ada yang aneh. Sejak tadi, ia tak melihat badan dari lembu yang ditariknya. Ketika dilihat lebih jelas, ternyata si lembu punya badan bersisik dan sangat panjang hampir sepanjang mata ia memandang. Sepanjang alur sungai, tampak berbuih karena badan si lembu memenuhinya. Melihat itu, si nelayan terkejut alang kepalang. Ia ketakutan setengah mati. Dengan wajah pucat pasi, ia segera memotong tali yang ia kaitkan ke lembu tadi, dan mengambil langkah seribu untuk segera menambatkan perahu ke daratan terdekat.”

 

Aku benar-benar hanyut dalam cerita Kakek, sampai tanpa sadar tersandung akar pohon dan hampir jatuh.

 

“Lanjut, lanjut Nek,” kataku.

 

“Setelah berhasil naik ke daratan, si nelayan berteriak sebisanya yang mengundang sejumlah orang yang sedang berladang. Dengan terbata-bata, dia menceritakan kepada orang-orang tentang apa yang baru saja dia lihat. ‘U-u-ular Lembu’ katanya. Tetapi, saat orang-orang melihat ke arah sungai, hewan itu sudah tak tampak lagi, hanya menyisakan buih di air yang sangat banyak dan panjang,”

 

Kakek mengakhiri cerita, dan menepuk-nepuk bahuku. Aku mengedarkan pandangan.

Kami duduk lama di tepi air. Anak-anak kampung tertawa, bermain di sisi lain. Seorang bapak tua lewat sambil menenteng jala. Ia menyapa.

“Maseh percaya ular lembu, Tua?”

(Masih percaya ular lembu, Pak?)

Rupanya sejak tadi ia mendengarkan obrolan kami.
Belum sempat kuproses pertanyaan itu, aku hanya lemparkan pandangan ke arah Kakek yang secepat kilat menjawab.

“Mun nde percaya. Bejaoh dari laut”

(Kalau tak percaya, jangan main di sungai)

Sambar Kakek, dengan suara lantang. Cukup lantang untuk terdengar oleh anak-anak  yang sedang bermain hingga membuat mereka semua tertawa.

Malamnya, setelah semua keluarga dekat dan tetangga pulang usai melaksanakan pembacan doa untuk almarhumah nenek, aku mulai menulis lagi. Cerita Kakek tentang ular lembu membikin aku seolah punya harapan lagi. Tentang cita-cita lulus dengan nilai bagus. Laptop di meja ruang tamu menampilkan halaman kosong. Aku mulai mengetik pelan: “Ular Lembu di Mahakam.”

Dalam beberapa saat saja, aku seperti tenggelam dalam baris kata dan adegan yang kutulis. Tempat ini, aroma malam yang dihiasi suara-suara jangkrik juga sesekali deru mesin ces atau klakson tugboat penarik ponton, memicu energi di kepala. Jari-jariku terus menari di atas keyboard melukis kisah tentang kampungku ini.

Setelah berusaha mencerna semua informasi yang ada, rasanya yang harus kulakukan hanya bercerita. Menceritakan kembali cerita Kakek. Bukan melulu sebagai seorang film maker. Hanya upaya kecil tanpa niat apapun, kecuali memelihara ingatan, merawat budaya menjaga sungai dengan cara paling sederhana: menghormati ular lembu.

Filmku nanti bukan tentang monster, tapi tentang seorang cucu yang belajar dari rasa bersalah dan menemukan kembali kampungnya. Aku ingin cerita ini menjadi pengingat bahwa legenda tidak selalu harus dipercaya secara harfiah. Seringkali, cerita hanyalah cara nenek moyang dan para pendahulu menasihati tanpa menggurui.

Aku menulis adegan demi adegan: Nenek yang masih merupa gadis muda Sebulu, mandi di sungai, pusaran air muncul. Kepala ular lembu mengintai dari bawah enceng gondok, Kakek muda berlari menyelamatkan, dan di akhir, sang cucu berdiri di tepi Mahakam menatap air yang berputar pelan.

Saat mengetik, aku merasa tenang. Seperti ada suara lembut di luar sana, mungkin suara nenek, atau mungkin hanya suara sungai.

*****

Beberapa hari kemudian aku pamit kembali ke Jakarta. Kakek mengantarku sampai halaman. “Jaga dirimu di sana,” katanya.
Aku mengangguk. “Aku janji akan segera pulang lagi.”
Kakek tersenyum. “Sungai ini tidak akan ke mana-mana. Tapi jangan biarkan hatimu jauh darinya.”

Dari mobil aku menatap Mahakam yang mengalir perlahan. Cahaya matahari sore membuat airnya berkilau. Aku tahu di bawah sana, legenda hidup bersama arus, menjaga, mengingatkan.

Di pesawat aku membuka laptop, membaca ulang naskah filmku. Kalimat terakhir tertulis:
“Ular lembu mungkin nyata, mungkin hanya cerita. Tapi setiap pusaran air di Mahakam adalah tanda bahwa alam masih ingin bicara.”

Aku menutup laptop dan tersenyum. Untuk pertama kalinya aku merasa benar-benar pulang.

Tamat.


Daftar Pustaka:

-        Sarip, Muhammad. “Ular Lembu di Mahakam: Fakta atau Mitos.” Samarinda Pos Online, 2020.

-        Sarip, Muhammad. “Salah Paham Lembu Suwana, Satwa Mitologis Kutai yang Disembah Dua Kerajaan di Tanah Kalimantan.” SejarahKaltim.com, 10 April 2020.

-        Balham, Johansyah. “Legenda Ular Lembu di usaran Sungai Mahakam” Unggahan tulisan di Facebook.com, 2017.

-        Sumber Tutur: Cerita Drs. Hamdani Swara, dalam sesi Diskusi Terpumpun di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Samarinda, November 2025.

 __________________________________________________________________________________

Tentang Penulis:

Nama saya Rusdianto, lahir dan besar di Sebulu, Kutai Kartanegara. Saya mulai menekuni dunia jurnalistik sejak tahun 2012 dan hingga kini tetap aktif sebagai jurnalis serta penulis yang berfokus pada isu-isu sosial, budaya lokal, dan dinamika masyarakat Kalimantan Timur. Saat ini saya bekerja sebagai editor/redaktur di Seputarfakta.com, bagian dari Grup Media Koran Kaltim. Selain itu, saya juga ditugaskan mengelola dan mengembangkan media sosial di lingkungan Koran Kaltim, serta menjadi produser dan host podcast Korkal Siniar yang tayang di kanal YouTube Koran Kaltim Video.

Perjalanan jurnalistik saya dimulai ketika berkesempatan magang dan bekerja di berbagai media seperti Majalah Nurul Falah, Samarinda Post, Majalah Patriot, RZ News & RZ Magz, dan SKH Koran Kaltim. Pengalaman di berbagai redaksi tersebut membentuk karakter kepenulisan saya yang dekat dengan masyarakat dan selalu berusaha menangkap suara lokal dalam setiap liputan maupun karya.

Saya menerbitkan buku pertama berjudul Kasak-Kusuk Pagebluk pada tahun 2021, serta aktif menulis di blog pribadi www.kalimantana.id sebagai ruang berbagi gagasan, refleksi, dan catatan perjalanan. Sertifikasi profesional yang saya miliki antara lain Sertifikasi Wartawan Muda PWI (2018) dan Sertifikasi Wartawan Madya Solopos (2023), dan Sertifikasi Wartawan Utama (Pikiran Rakyat). Saya juga pernah mengikuti program pelatihan internasional seperti Digital Journalism oleh Reuters serta terlibat sebagai Honorary Reporter untuk Ministry of Culture, Sports and Tourism, Republik Korea Selatan.

Sebagai penulis, saya percaya bahwa cerita memiliki kekuatan untuk merawat budaya. Karena itu, saya terus berupaya mengangkat kembali kisah-kisah dari tanah kelahiran saya agar tetap hidup tidak hanya melalui tradisi lisan, tetapi juga lewat tulisan yang bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya.