Bukan Cuma Saya, Banyak Kok yang Gak Terima Pelangi Diklaim jadi Logo LGBT -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Bukan Cuma Saya, Banyak Kok yang Gak Terima Pelangi Diklaim jadi Logo LGBT

Rusdi Al Irsyad
Sabtu, 05 Agustus 2023



Belakangan, aksi-aksi kaum 'itu' sedang banyak tersorot mata publik. Mulai dari revenge porn founder Nasi Darurat Jogja yang ternyata pelaku dan korbannya sama-sama Mas-Mas. Lanjut lagi kelakuan Matty Healy yang bikin pemerintah Malaysia ngamuk, saya jadi ingat sesuatu yang masih satu aliran. LGBT lagi, LGBT lagi. Ini bikin saya merasa agak marah, karena kalau urusan ciuman di tempat publik. Yah, kita bisa tutup mata. Tapi, ini hal yang lebih prinsip. Pelangi. Yak benar. Pelangi. 


Suatu petang di bawah kaki gunung Santubong, Sarawak, Malaysia. Saya sedang minta difoto dengan latar belakang panggung utama, gelaran tahunan Rainforest World Music Festival ke-26. Di belakang sana, hanya tampak beberapa crew yang sedang bersiap-siap. Itu adalah jeda, sebelum pertunjukan kembali dimulai selepas magrib. Kesempatan ini saya ambil, lantaran para pengunjung yang kebanyakan turis asing sedang melipir ke kanan dan kiri panggung, yang diisi banyak stand makanan dan minuman. 


Karena suasana itu, saya bisa dengan leluasa mengambil foto dengan latar belakang panggung utama tersebut. Saya berdiri tepat di titik tengah tanah lapang, yang sebenarnya agak miring itu. Dari posisi ini, kawan yang memegang kamera saya asumsikan dapat mengambil latar belakang panggung bertuliskan Rainforest World Music Festival, beserta sejumlah logo band penampil utama. 


Hampir 1 menit saya berdiri mematung. Gambar sudah dipotret. Tapi kawan yang saya mintai tolong meng-kodak masih sibuk dengan gawai di tangannya. 


Setelah bertanya dengan sedikit berteriak, ia menghampiri dan menunjukkan hasil fotonya. 


"Ada pelanginya eh. Kek gimana gitu," ujar si kawan, sambil menunjukkan gestur bergidik. 2 jam sebelumnya, saat pertama kali sampai di lokasi ini. Kami memang sudah membincangkan banyaknya orang yang kami duga penganut Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT). Layar besar di kanan dan kiri panggung, didesain dengan karakter warna pelangi, besar sekali. Tentu saja, ini cuma asumsi saya dan kawan. Mana mungkin, acara yang juga disponsori pemerintah Malaysia ini, sengaja menaruh atribut-atribut LGBT, kan?  Ini kan, Malaysia. Negara konservatif Islam yang bahkan, sempat menolak kedatangan Coldplay, karena Chris Martin dianggap mendukung LGBT. 


Dan benar saja. Aksen pelangi di kanan dan kiri panggung itu, berdasarkan penjelasan dari salah satu panitia yang kami temui, semata berkaitan dengan branding Rainforest alias hutan hujan tropis, yang kerap muncul pelangi di dalamnya. Tapi gara-gara itu, saya jadi sadar lalu kesal. Oh iya, ya. Kenapa setiap lihat pelangi, otak kita langsung mengasosiasikannya dengan LGBT? Padahal, kan belum tentu. 


Entah sejak kapan, pandangan terhadap pelangi jadi selalu mengarah ke kalangan  

LGBT. Terserah bagaimana perkembangan kelompok ini di luar sana. Tapi di Indonesia. Sejak masa kanak-kanak. Pelangi di bayangan kita semua adalah; Ciptaan Tuhan. Dan, seperti ucapan Bunda Dorce di setiap opening dan ending acara Dorce Show (yang kayaknya mau niru Oprah Winfrey Show) itu bahwa; "Kebenaran datangnya dari Allah, kesalahan datangnya dari saya pribadi," makin meyakinkan generasi Indonesia termasuk saya waktu itu, bahwa tidak mungkin dong, Tuhan menciptakan sesuatu yang salah. Perkara ungkapan ini diucapkan oleh Dorce Gamalama yang faktanya juga merupakan seorang transgender, itu urusan lain. Jangan lihat siapa yang bicara. Lihat isi pembicaraannya. Begitu, kan? 


Sekarang, setiap kali menggunakan atau mau menggunakan sesuatu yang berkaitan dengan pelangi, kita jadi takut. Ya, takut dianggap bagian dari LGBT. Stigma bahwa pelangi adalah perlambang LGBT ini seperti mengambil alih pelangi secara keseluruhan. Mereka mengklaim sepihak seolah sekarang kalau ada yang pakai atribut bercorak pelangi langsung kena copyright. Padahal, pelangi bahkan sudah ada jauh sebelum manusia sampai di Bumi. 


Di masa glasiasi, sekira 900 atau 1 miliar tahun yang lalu, kata NASA terjadi hujan asam selama hampir 100 tahun. Bayangkan, kalau hujan air yang durasinya tidak sampai 1 jam aja bisa bikin Kita Samarinda banjir, eh maksudnya bisa menghasilkan pelangi, berarti hujan yang 100 tahun itu ha ya pasti juga bakal memunculkan pelangi. Bukan cuma 1, mungkin ribuan pelangi. Tahun segitu, jangankan kok manusia yang LGBT. Dinosaurus aja belum ada. 


Jadi, kalau sekarang tiba-tiba pelangi diakui hanya sebagai identitas satu kelompok saja, kok rasanya sulit diterima. Dan saya rasa, bukan cuma saya yang gak setuju pelangi diklaim sebagai identitas tunggal satu kelompok. Pasti banyak juga di luar sana yang gak terima, pelangi diakui sama LGBT. 


Kabarnya, bagi kaum non-LGBT yang ingin tetap menggunakan pelangi sebagai atribut,  untuk membedakan dengan pelangi yang LGBT, kita harus menambahkan warna merah muda. Heh, gimana sih? 


Walaupun katanya jumlah penganut LGBT ini sekarang sudah banyak. Tapi sebanyak apa sih? Apa iya, bisa lebih banyak dari jumlah keseluruhan anak TK atau PAUD yang sudah pasti bukan LGBT yang pengin nyanyi lagu Pelangi-pelangi. Alangkah indahmu? 


Samarinda, 25 Juli 2023. 

Rusdianto