Tak Ada yang Terlalu Cepat -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Tak Ada yang Terlalu Cepat

Rusdi Al Irsyad
Rabu, 15 Juni 2022


TIDAK banyak yang bisa kuingat dari sosok satu ini. Anak baru, yang,-- sejak awal selalu pasang kuda-kuda setiap kali terlibat interaksi denganku. Karenanya, tak jarang  aku ikut terseret dalam arus gejolak mudanya.  Walau begitu, sebenarnya aku bisa paham. Karena pada level tertentu, aku juga sebenarnya seperti dia. 

Tak suka menerima nasihat, jika disampaikan dengan cara yang tak aku suka. Ah, darah muda. 


Ditambah lagi, kungkungan lingkungan, dan budaya yang terbangun di kota kabupaten, rasanya membentuk dia yang seperti itu. Tapi sekali lagi. Tidak ada yang salah dengan itu. 


Aku perlu membuat payung seperti ini, supaya kau paham. Bahwa kalau kau suatu saat nanti tiba-tiba ingat interaksi dengan sosok ini, dan sayangnya itu adalah hal yang kurang menyenangkan, aku harap kau sudah mengerti. Aku akan lebih berterima kasih, kalau kau sampai ikhlas memaafkan. Kau nanti akan mengerti, bagian ini sangat penting. 

_________


Siang itu,  matahari sedang tinggi-tingginya menyorot tajam  Tepian Sungai Mahakam, di kawasan Timbau, Kota Tenggarong. Aku adalah orang dengan sepeda motor matic, meraih gawai di loker. 


Kuketuk satu nomor kontak, dan panggilan tersambung. 


"Iya, Bang," sahut suara di ujung telepon. 


"Kau di mana?" 

"Aku di Tenggarong, mau bikin SIM. Bisa bantu, nggak?" cecarku. 


Ada sedikit jeda, sampai suara di sambungan telepon itu kembali terdengar. 


"Langsung ke Kanit, Bang. Nanti aku bilangin dia." 


Perbincangan singkat itu, masih kuingat sebagai bentuk terima kasih. Sebabnya, kau juga pasti tahu. Menjadi orang yang patuh regulasi, perlu kesabaran. Dan aku rasanya tidak diciptakan, dengan kemampuan itu. 


Dalam kalimat lain. Dia, bocah arogan yang sering memancing kritikku itu, sudah membantuku sejak mungkin 5 tahun lalu.  Entah, secara langsung atau tidak. Tapi bagaimana bisa aku layak disebut manusia, kalau aku tak berterima kasih?


Tahun-tahun berjalan, berkarya di atap yang sama. Memaksa aku mau tak mau untuk terlibat interaksi dengan dia. Apalagi, ketika Desman Minang Endianto. Mempercayakan satu kursi yang, di atas kertas, adalah sesuatu yang prestisius. Terutama bagi aku yang bahkan belum genap 10 tahun, di jurnalistik. Entah untuk alasan apa, laki-laki yang kusebut sebagai Titisan Jacob Oetama itu, memberikan kepercayaan sebagai Wakil Pimpinan Redaksi. Terserah bagaimana penilaianmu tentang ini. 


Yang aku ingat, karena hal itu pula. Aku sampai rela menghabiskan setidaknya 5 atau 6 jam. Demi bisa duduk, di Kafe Oriq. Begitukah seharusnya aku menuliskannya? Kalau salah, ya kau tahu kau bisa menyuruhku memperbaikinya segera. 


Kejadian ini, pernah kutuliskan sebelumnya saat menceritakan perjalananku datang ke resepsi pernikahan Nofi dan Sapri. Pasangan jurnalis Tempo dan Kaltim Post. 


Aku duduk di sana, pada suasana yang sangat asing. Walaupun aku tahu, beberapa di antara jurnalis portal media daring yang muda-muda itu, menunjukkan anggah-ungguh secukupnya, padaku. Itu juga sebab si bocah ini, yang berkali-kali memperkenalkan aku, dengan bahasa semantik seperti; 


"Jangan ngomong bagi-bagi berita dulu,ey. Ada editorku di sini, hahaha," serunya yang selalu kutimpali dengan frekuensi tawa yang sama. 


Di tengah obrolanku dengan Sapri. Anak muda berambut ikal itu, beberapa kali menyela untuk sekadar bertanya perihal berita yang ditulisnya. Ah tak seberapa penting sebenarnya. Tapi aku sadar, itu ia lakukan demi memijakkan kaki pada sesuatu yang disebut manusia. 


Sejak pertama kali dikenalkan oleh Pak Desman, aku selalu mengira anak ini sebenarnya lebih tua secara usia dibanding aku. Itu aku percaya hampir sepanjang aku mengenalnya. 


Perawakannya yang tinggi, memaksa aku percaya seharusnya aku yang memanggil dia dengan sebutan;Abang. 


Sependek ingatanku. Selama berkarya di Koran Kaltim, dia adalah satu dari sedikit wartawan yang konsisten berambut panjang. Aku bicara tentang laki-laki. Seringkali ia mengikat rambutnya. Sial. Aku makin jelas menggambarkan. 


Aku sudah bilang bukan? Bahwa interaksiku dengan bocah ini, kebanyakan adalah 'petentengan'. Untuk itulah, aku melihat anak ini punya mental keberanian. Soal skill, itu urusan lain. 


Dia juga sering melontarkan kalimat pedas, menyikapi kritik kepada kinerjanya. Di titik itu, aku seperti melihat diriku sendiri. Ingin rasanya aku mengatakan untuk ia terus begitu. Tapi, bagaimana mungkin? 


Di tengah pasang surut komunikasi yang engga bagus-bagus amat, bukan berarti kami tak punya ingatan tawa bersama. Tentu saja aku sulit untuk lupa, bagaimana ia menawarkan motornya, yang tinggi dan berpostur tunggangan sirkuit balap itu, kepada Alul. Bocah viral dari Loa Kulu itu, baru saja selesai shooting untuk sebuah episode podcast Korkal Siniar, yang aku kerjakan di Tenggarong. 


Setelah berbincang cukup lama, kami mengantar Alul ke luar gedung kantor pusat Koran Kaltim. Di halaman, terparkir motor itu. Segera saja, ditawarkan sepeda mesin itu kepada Alul, yang musabab viralnya salah satunya kerana kerap mengendarai sepeda motor. 


Jawaban polos Alul, sukses memantik tawa bocah arogan itu. Juga aku, dan yang lain.  Lepas sekali dia tertawa. Seperti aku melihat keabadian di sorot matanya. 


Tapi mana ada yang abadi di dunia ini. Seperti tawa juga arogansi bocah ini. 


____ 


Siang itu, Kamis 9 Juni 2022  aku sedang menyantap makanan. Persis di depan seorang Penulis Sejarah terkenal di Kalimantan Timur, Muhammad Sarip. Ia mengundangku untuk makan siang, sembari mengobrol. 


Meski sudah duduk nyaris 1 jam, obrolan terasa makin seru. Hingga aku melewatkan untuk  melongok gawai. Sampai, sebuah panggilan masuk yang tak sempat ku jawab menarik perhatianku. 


Setelah mencuci tangan, aku baca pemberitahuan dan pesan masuk. Pak Desman meminta untuk membuat ucapan dukacita. Jangan kira aku tak berperasaan. Sangking seringnya membuat atau mengunggah ucapan duka. Bikin aku tak terlalu memperhatikan pesan itu. 


Sampai kubaca pesan itu sekali lagi. 


Astaga. Si bocah arogan itu? Lokasiku di Samarinda. Sementara kejadian itu, dilaporkan dari Tenggarong. Seorang rekan, menyebut, anak itu terlibat kecelakaan. 


Aku berusaha meluruskan pandangan. Bang Sarip, di balik mejanya memandangku dengan tatapan seribu pertanyaan. Mengapa, siapa, bagaimana? 


Aku tidak bisa menjawab. Hanya kalimat-kalimat pendek, yang aku ucapkan. Entah itu sesuai harapan Bang Sarip, atau tidak. Yang pasti. Aku terkejut. 



"Astaga, Za..za," aku mengulangi kata-kata itu beberapa kali. Sambil berdecak, dan gelisah aku berusaha untuk berpamitan. Aku sering bilang, ke hampir semua kawan yang kukenal. Kalau kau punya acara tasyakuran, selamatan, walimahan, party, atau apapun itu yang intinya adalah berbahagia. Mungkin kecil kemungkinan aku akan bisa datang. Sulit. 


Aku selalu merasa tak nyaman, berada di acara semacam itu. Tapi kalau urusan dukacita. Ini adalah kemanusiaan. 


Bersyukur hari itu, Pejabat Human Resource dan General Affair (HRGA) Koran Kaltim yang usianya lebih muda setahun dariku Cony Ayu,  bersedia memberi tumpangan. Rupanha ia juga hendak bertakziah. Ke sana. Ke pemakaman Reza Fahlevi. Saudara kami. Si anak arogan yang sejak tadi kuceritakan. 


__ Kau harus tahu. Aku menulis  ini selama hampir satu pekan.


Belum selesai rasa terkejutku, tentang kehidupan anak muda yang ternyata tulang punggung keluarga ini. Kalau aku saja kaget, bagaimana keluarganya? Maksudku, ibunya. Adik perempuannya. Ayahnya. Tapi begitulah ketetapan Tuhan. Kalau Ia sudah rindu. Dia hanya akan memanggil dengan cara-cara yang kadang memang menyakiti logika manusia.


Sesampainya di makam. Aku menemukan wajah-wajah duka. Tentu saja. Reza masih teramat muda. Ia baru berusia 26 tahun. 3 tahun lebih muda dariku. Sekarang aku akan terima, bahwa panggilan Abang, itu tidaklah salah. 


Dari kumpulan perasaan itulah. Untuk pertama kalinya, setelah yang terakhir 5 tahun lalu, di pemakaman Mamakku. Aku bersedia melakukannya lagi.  Aku berjongkok di tepi tempat peristirahatan terakhirmu itu, Za. Kulantunkan azan. Persis di bagian kepalamu, Za. Ya, kalau waktu itu kamu dengar nada yang kupakai adalah campuran dari Sika dan Nahawan. Itu semata-mata sebagai ungkapan bahwa aku turut merasakan kepayahan, yang nampak di wajah ibu-mu. Aku masih percaya ucapan Sudjiwo Tedjo, bahwa tak ada kesedihan dalam kematian. Tapi sebagai anak laki-laki, melihat bulir air mata yang menderas berguguran di wajah ibu-mu. Siapapun pasti akan ikut mbrebes. 


Pada jeda antara azan dan iqamat, aku ingin sekali melihat wajah 'songong' itu lagi. Untuk yang terakhir. Tapi tak berhasil. Kerabatmu rupanya digerakkan Tuhan, untuk segera menimbunkan tanah. Seperti arahan untuk mempercepat prosesnya. 


Aku menyungging senyum. Mengingat kelakuanmu. Saat kamu tanya bagaimana bisa aku juga suka mengunjungi situs yang menampilkan video-video Gore. Kamu bahkan memberi aku rekomendasi. Ada Ganesha di sana waktu itu. Lantai 1 Kantor Pusat Koran Kaltim. Kau tarikkan aku satu kursi, sementara kamu bersama Ganesha si paling designer grafis itu duduk di lantai.


Badanku masih di tepi makammu, Za. Tapi otak dan pikiranku entah kemana. Aku hampir saja terbawa suasana, dan tertawa sendiri. Sampai suara orang-orang membaca Surah Yasin, pelan-pelan masuk ke telingaku dan aku sadar. 


Pada titi mangsa yang sama, aku juga sadar. Barangkali usiamu masih begitu muda. Karir jurnalistikmu juga masih panjang. Tapi, sungguh tidak ada yang terlalu cepat. Tidak juga yang tiba-tiba. Kepulanganmu justru memberi pelajaran yang teramat berharga. Bahwa, seberapapun besar usaha dan kemungkinan-kemungkinan yang kita punya. Ada satu kekuatan penentu di sana, yang bisa saja punya risalah yang lain. 


Maka aku berdoa. Pulanglah dengan tenang, Za. Berbahagialah di sana, bersama Si Empunya Kehidupan. 


Sore itu, sepulang dari pemakaman. Aku memotret lokasi di mana kamu terjatuh. Sendirian. Aku berjongkok sekian lama. Lalu aku percaya satu hal. 


Hari itu, pasti hari paling membahagiakan untukmu. Berangkat menuju tempat liputan. Sebagaimana biasanya. Semangat yang sama. Lalu Tuhan, memanggil. Barangkali, ada penugasan penting dari Tuhan. Kalau boleh aku menebak, itu adalah tugas untuk mengajari kami yang masih ada di dunia, untuk lebih menghargai setiap kesempatan yang diberikan. 


Selamat Jalan, Le. Selamat Jalan Kawan. Berbahagialah. Aku, utang rasa.



Rusdianto

Samarinda, 15 Juni 2022