Hidup 25 Tahun di Samarinda, Saya Takut Hujan -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Hidup 25 Tahun di Samarinda, Saya Takut Hujan

Rabu, 20 Oktober 2021

Suasana Banjir di Samarinda Oktober 2021 (Foto: Permata S Rahayu)

Tahun ini, usia saya genap menginjak seperempat abad alias 25 tahun. Selama hidup di Samarinda, tak pernah saya merasa aman saat hujan mulai turun di Kota Tepian ini. Nyaris seluruh orang Samarinda tahu, kalau hujan turun dengan deras, maka Sebagian wilayah akan tergenang air dengan beragam ketinggian. Lucunya, perkara banjir ini seolah jadi hal yang biasa dan mudah dimaklumi. Bahkan oleh pemangku kepentingan yang menganggap banjir ini musibah yang diluar kendalinya. Tapi kalau berpuluh-puluh tahun, apa iya? 

 Dulu waktu masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), saya melihat rumah-rumah tetangga kerap terendam banjir ketika hujan turun. Sekian tahun kemudian, ketika tetangga sudah pindah dan rumah-rumah mereka berubah menjadi bangunan-bangunan megah, giliran rumah sederhana saya yang terendam air. Lebih dari 3 tahun saya harus siaga di rumah ketika hujan turun. Awalnya hanya bagian dapur yang terendam, lama-lama seluruh rumah ikut calap. Bapak saya pun mulai beradaptasi dengan situasi tersebut. Seluruh perabotan di rumah diberi ganjalan dari kayu yang beliau buat setiap akhir pekan. 

Mulai dari Kulkas, Lemari Pakaian hingga kasur diberi ganjalan agar tak terendam air. Keluarga kami tidak pernah meletakkan barang di lantai, karena waspada banjir setiap hujan turun. Hal serupa saya yakin juga dilakukan oleh banyak warga Samarinda. Di daerah-daerah yang terkenal sering mengalami banjir, saya sering melihat rumah-rumah menjadi rendah, karena lantai dan plafonnya hanya tersisa sekian meter. Ya, mereka meninggikan lantai rumah dengan harapan tidak kemasukan air saat hujan. Banyak teori dan analisis yang membahas upaya mengendalikan banjir di Samarinda. Kita tidak lagi membahas bagaimana banjir bisa hilang dari kota ini. 

Mulai dari mengubah perilaku masyarakat yang masih membuang sampah ke sungai atau selokan. Hingga mega proyek bendungan atau waduk sebagai ganti dari daerah resapan air yang hilang. Namun hal tersebut Nampak sia-sia, karena nyaris setiap hujan deras turun, ada saja daerah di Samarinda yang tergenang air. Hal ini seringkali membuat saya takut kalau hujan deras mengguyur Samarinda. 25 Tahun saya hidup di Samarinda, artinya sudah ada setidaknya 5 pemimpin di Kota Tepian. Namun tak satupun Nampak berhasil mengubah keadaan. Setiap tahun, klaim pemerintah selalu berhasil mengurangi titik banjir. Nyatanya, air hanya bergeser ke daerah lain yang badan jalannya ditinggikan oleh proyek semenisasi. 

Pada tahun 2019, banjir besar terjadi di 3 Kecamatan di Samarinda. Puluhan ribu kepala keluarga terdampak banjir hingga sepekan lamanya. Tahun selanjutnya, saat daerah tersebut tak lagi tergenang, pemerintah bilang bahwa titik banjir berkurang. Nyatanya, kini daerah seberang Samarinda, warga di Kecamatan Palaran yang harus merasakan air keruh bercampur lumpur di pemukiman rumah mereka. Sebelumnya, sekitar tahun 2018, masyarakat di Kecamatan Sungai Pinang tentu harus siaga karena air menggenangi rumah mereka. Hal ini tak hilang dari ingatan saya, karena beberapa kawan menjadi korban dari musibah-musibah banjir tersebut. Seperempat abad lamanya saya harus mendengar cerita ‘bersih-bersih’ rumah yang harus dilakukan kawan-kawan saya paska banjir terjadi. 

Bertahun-tahun juga saya turut merasakan menjadi korban dari ‘musibah’ banjir tersebut. Saya heran, kok pemerintah tenang-tenang saja ya? Oh, mungkin karena waktu banjir bapak/ibu berseragam tersebut sigap turun ke lokasi sembari membawa sekardus mie instan yang ramah di lambung kami. Selain itu, saya baru ingat rumah jabatan pemimpin kami berlokasi di lahan yang cukup tinggi, demikian juga dengan kantornya. Jadi mungkin telapak kakinya tak turut merasakan keruhnya air parit yang masuk ke rumah. Tapi tak selamanya Samarinda buruk. Hanya karena banjir puluhan kali terjadi, tak berarti ruas-ruas jalan di Samarinda ikut terkikis ya. 

Bisa dilihat, proyek semenisasi terus berjalan, bahkan di beberapa titik yang jalannya masih semulus wajah Raisa Andriana. Badan jalan kokoh dibangun dengan beton setinggi 10 centimeter lebih, sementara drainase di kanan-kirinya tak bertambah lebar atau dalam. Kadang, di beberapa ruas jalan masyarakat bisa melihat permukaan air di drainase saking awetnya pemerintah memelihara sedimentasi. Kadang kendaraan bak Nabi Musa yang membelah lautan, karena ada genangan air yang tak bisa mengalir. Air bingung hendak kemana, tak ada drainase disana. Namun, banjir ini musibah. Jadi tidak bisa diprediksi.