Samarinda Menuju Kota Distopia -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Samarinda Menuju Kota Distopia

Rusdi Al Irsyad
Sabtu, 18 September 2021

 

awan sore hari berwarna gelap. Gumpalan mendung raksasa seperti bakal menimpa siapa saja di bawahnya.


Para ilmuan penganut Wongsonisme nampak sibuk, di pelataran sebuah gedung dengan arsitektur vernakular ditambah sentuhan kontemporer. 


Sebuah bongkahan kaca besar pipih  berwarna neon, berdiri kokoh tepat di bagian atapnya. Barisan huruf membentuk tulisan 'Museum Samarendah' dapat kau lihat dengan jelas, bahkan dari jarak 500 meter. 


Orang-orang hari ini sedang terlalu padat pada jadwalnya masing-masing. Bahkan kau akan terbiasa dengan mereka yang tak lagi menggunakan kakinya untuk bergerak. 


Sebuah benda mirip nampan, melekat pada kaki-kaki manusia di masa ini. Dengan daya dorong yang cukup, benda  itu sanggup mengantarkanmu sesegera mungkin, bahkan saat kau tergesa-gesa hendak ke toilet.


Jika saja kau sanggup merasakannya, udara akan terasa lengket. Kau mengerti kan ? Orang-orang perlu masker khusus di mulut dan hidung mereka, lalu menghubungkannya dengan sebuah tabung kecil di kantung celana. 


Aku hampir tidak percaya ketika Nuzlah  memaksaku meminum sebuah pil berwarna terang. Dan itu dua. Kubilang padanya kalau aku hanya perlu sepotong Bakpao Ayam Kota Tepian, sebagaimana sarapanku biasanya. 


Tapi, ia bersikukuh bahwa ini adalah tahun 3040. Di mana kau hanya bisa menyesal dan terus merengek untuk sekadar makan Nasi Kuning Acil Kintul yang kuingat sangat enak itu. Hasilnya ? 

Tidak ada. Kau hanya bisa mendapatkan energi dan karbohidrat dari satu pil berwarna terang, dan kapsul seberat setengah pon, untuk memuaskan dahaga. 


Ku pikir ini masih Samarinda. Kota tempat tinggalku. Aku masih bisa melihat Gedung Pendopo Lamin Etam di Jalan Gajah Mada. Tapi tunggu. Mengapa air sungai berubah menjadi kehijauan ? 


Seperti yang lain, Nuzlah Radev pemuda berdarah Kutai yang memboyongku ke tempat aneh ini juga mengenakan sesuatu mirip hoodie. Hanya, kau harus tahu bahwa bahan yang mereka gunakan pada masa ini seperti kurang manusiawi. 


Itu sangatlah tebal, untuk ukuran manusia. Aku pikir, mengapa tidak kau gunakan kain katun saja. Selain soal warna yang monoton hitam, bahan pakaian Nuzlah, sama seperti yang lain. Lebih cocok untuk dijadikan jaket pada balapan di sirkuit Mandalika. .....





*Ini adalah potongan, dari cerita fiksi yang sedang saya tulis. Jika tidak sedang sibuk, bantulah aminkan doa saya agar tulisan cerita ini segera rampung dan dipublikasikan (kalau layak). 



Spoiler ini sengaja saya bagikan demi menjajal penerimaan audiens atau calon pembaca, musabab sebagian bab yang sudah saya publish di platform novel daring tidak juga ditayangkan. 



Di luar itu, pada beberapa bagian dalam  kehidupan senyatanya, narasi Distopia seperti berhak disematkan atas kota kita Samarinda. 


Saat memulai menuliskan naskah cerita ini di akhir 2019 lalu, saya tidak bisa berkelit lagi kalau cerpen berjudul 'Cyberpunk' dari tahun 1980-an karya Bruce Bethke menginspirasi saya. 


Gambaran tentang tatanan kehidupan dalam segala keterbatasan dipadu kemajuan teknologi yang sampai pada puncaknya, selalu saya rasa cocok untuk mendeskripsikan bayangan saya akan Kota Samarinda di masa depan. 


Sayangnya, distopia dalam banyak literatur diartikan sebagai antitesis dari utopia. Yang mana, secara sederhana, saya adalah barisan pesimis mengenai masa depan kota ini. 


Tentu saja, opini itu saya sandarkan pada beberapa hal sebagai penyebab. Sebuah penelitian yang dilakukan Tri Rahayu, seorang sarjana filsafat dari Universitas Parahyangan Bandung, menyebut Kota Kreatif yang kerap kali dicanangkan banyak pemerintahan di kota-kota di Indonesia sebagai sesuatu yang amat imajinatif.


Nyaris sulit menemukan relevansi atas ide-ide mewujudkan gagasan pada tiap-tiap tolok ukur sebuah kota, sebagai Kota Kreatif. Utopis.


Di atas kertas, konsep-konsep besar nan elok dipandang mata menggugah angan setiap masyarakat dan penghuni kota bahwa hal-hal demikian dapat benar-benar mewujud nyata. 



I Nyoman Nuarta misalnya, berhasil menawarkan kebahagiaan utopis dengan   merancang Nagara Rimba Nusa sebagai ejawantah gagasan berpadunya konsepsi alam (baca: hutan) yang seolah benar-benar bisa menyatu  dengan gedung-gedung pada aliran arsitektur futuristik, di Ibu Kota Negara (IKN) Republik Indonesia yang baru kelak. 


Padahal, rupa dari tatanan utopia tak melulu berfokus pada fragmen fisik saja. Ada elemen non fisik di dalamnya, meliputi tatanan politik damai, ekonomi berkeadilan, hingga minimnya pembatasan pada hal-hal fundamental dalam upaya penyiapan legacy paling baik atas keberlanjutan sebuah peradaban. 


Akan selalu ada  tegangan-tegangan paradoksal antara impian imajiner mewujudkan kota kreatif, dengan kondisi paling relevan dengan variabel potensi-potensi kehancuran yang puncaknya adalah distopia.


Masalah menahun seperti banjir yang terus diwariskan, bisa saja nantinya tidak hanya menenggelamkan sepuluh atau dua puluh pemukiman. Tapi juga keyakinan akan keberlanjutan peradaban kita.


Apakah ini kabar buruk ? Entahlah, aku juga tidak berani menyimpulkan. Bukankah kita sedang beruntung, tinggal di Kota Pusat Peradaban ? 




Rusdi

Sabtu 18 September 2021