Negeri Bakar-bakar -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Negeri Bakar-bakar

Rusdi Al Irsyad
Sabtu, 19 Agustus 2023

Penyebaran informasi gini hari, sudah sangat cepat. Selain itu, informasi  juga sekarang  mudah sekali diakses oleh (hampir) semua orang dari bermacam kalangan. Semua ada di tangan. Itu adalah sederet alasan yang bikin aku yakin bahwa apa yang terjadi di Hawaii, sejak pekan kedua Agustus 2023 itu kurasa pasti diketahui sebagian besar populasi dunia. Tak terkecuali, orang-orang di Indonesia. Tak terkecuali orang-orang di sekitar rumahku. Para tatanggaaa (baca pakai logat Sunda Rafael).


Kebakaran hingga puluhan hektare itu, katanya disebabkan cuaca panas dan musim kemarau. Di dalam negeri, suasana kebatinan jelang musim kemarau sejatinya juga sudah bisa terasa. Bapak-bapak pejabat dari yang sipil sampai militer,  sudah menjelaskan  banyak rupa cara, untuk mengindari sesuatu yang disebut Karhutla. Kependekan dari Kebakaran Hutan dan Lahan.

Tapi, informasi hanyalah informasi. Kemampuan mencerna informasi menjadi renungan, lalu ditingkahi laku konkret rasanya perlu proses tak sebentar. Hal ini barangkali jadi alasan paling bisa diterima, ketika menyaksikan orang di kanan dan kiri rumah tempat tinggalku, yang terus saja dengan santai membakar hal-hal yang bisa dibakar.


Sampah kering, rumput kering, tulang kering, dompet kering. Semua yang kering. Bahkan yang basah juga. Mumpung panas, katanya. Adudududuuuh. Mumpung panas.


Di luar antisipasi Karhutla yang sifatnya makro tur jadi urusan negara. Dampak paling dekat yang bisa dirasakan ketika ada aksi bakar-bakar adalah asap. Asap yang ditimbulkan juga sudah jelas mengganggu, apalagi dilakukan di sore hari yang tenang, yang seharusnya bisa dihabiskan dengan menonton ulang beberapa episode Spongebob Squarepants, sambil sesekali ngasih emot ketawa di postingan Instagram media massa, tentang kortingan hukuman para tersangka kasus yang itu. Ah yang itu loh. Yang main tembak-tembakan.


Ah jelaslah, musnah sudah harapan menikmati semilir angin di teras rumah. Alih-alih santai, aku malah jadi harus buru-buru masuk ke dalam rumah, menutup semua pintu dan jendela, serta tentu saja kaos-kaos band metal produksi Prapatan Rebel yang jadi modal untuk bisa dianggap sesirkel sama anak-anak skena itu harus segera dimasukkan. Duh, padahal baru aja dijemur.


Di seberang sana, bapak - ibu tetangga itu tersenyum manis sekali. Bayangan wajah mereka meleyot, oleh karena diselimuti asap warna kuning gelap. Aku balas senyum mereka dengan membanting pintu. Tenang, cuma banting kok. Engga pakai cekik, apalagi menendang lalu bikin selebrasi.

Karena ini bukan pertama kali terjadi, aku jadi kepikiran gimana sebenarnya penerapan aturan-aturan larangan bakar-bakar ini ya.

Ada Undang Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah misalnya. Di Pasal 29 ayat (1) huruf (g), disebutkan bahwa; Setiap orang  dilarang  membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah.


Di level yang lebih kecil, ada Pasal 38 huruf (e) Perda Kota Samarinda Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Sampah. Isinya kurang lebih sama. Melarang orang bakar sampah sembarangan. Disebutkan bahwa setiap orang atau Badan dilarang membakar Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Bahkan, diatur juga sanksi pidana yang bisa dikenakan bagi mereka yang melanggar. Di
Pasal 47  ayat (1) Setiap Orang atau Badan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ...Pasal 28,
... dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).


Pada spektrum yang lebih luas. Membakar sampah, tak akan bikin orang jadi makin kuat secara mental, sebagaimana efek dari membakar semangat. Malah bisa jadi melebar ke pembakaran lahan atau hutan. Dan ini juga diatur larangan serta ancaman sanksinya. Karena, tentu saja, pembakaran hutan dan lahan berdasarkan UU Kehutanan merupakan pelanggaran hukum, sehingga pelaku dapat dikenakan sanksi pidana dan denda.
Undang-Undang (UU) Nomor 41/1999 tentang Kehutanan,
Dalam Pasal 78 Ayat 3 UU Kehutanan disebutkan, barang siapa yang dengan sengaja melakukan pembakaran hutan akan dikenakan pidana penjara maksimal 15 tahun dan/atau denda maksimal Rp5 miliar.
Sementara di UU PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup), disebutkan bahwa membuka lahan dengan dibakar merupakan pelanggaran yang dilarang sesuai Pasal 69 ayat 2 huruf h, yakni pelaku diancam pidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda antara Rp3-Rp10 miliar.
Dari semua itu, sejatinya ada celah bagi aku atau kamu yang napasnya tersengal-sengal karena harus menghirup aroma aneh dari asap bungkus pewangi pakaian dan kulit bawang putih itu ketika dibakar asapnya masuk ke hidungmu. Apalagi yang membakar adalah tetanggamu sendiri.

Kembali ke UU 18 Tahun 2008. Pemerintah menjamin bahwa orang-orang teraniaya seperti kita bisa mendapatkan perlindungan. Ya Tuhan. Terima kasih. Pada Pasal 36 disebutkan, bahwa masyarakat yang dirugikan akibat perbuatan melawan
hukum di bidang pengelolaan sampah berhak mengajukan gugatan melalui perwakilan kelompok. Yah, walaupun sepertinya alurnya lebih syulit dari melupakan Rehan, tapi seenggaknya, ada -lah sedikit harapan.

Walaupun begitu, seperti yang sudah sering kita lihat di depan mata, atau dari layar kaca. Seringkali aturan-aturan itu tak lebih dari sekadar macan kertas. Secara tertulis garang, tapi implementasinya, sulit sekali. Kenapa?

Karena budaya kita adalah bakar-bakar. Negeri ini negeri bakar-bakar. Ayam bakar, ikan bakar, iga bakar. Ya, kan?  Eh tunggu, masih ada nasi bakar, tempe bakar, bahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga Siti Nurbaya Bakar.
Banyak banget bakar di Indonesia. Jadi kalau cuma menambah sampah dan lahan di daftar bakar-bakar ya, bukan sesuatu yang mengherankan. Eh aku heran sih awalnya. Tapi sekarang? Ya langsung nutup pintu saja, sambil berdoa bisa segera punya kekuatan untuk pindah. Entah, ke permukiman yang tidak ada tetangga yang doyan bakar-bakar, atau malah pindah negara.

Samarinda, Minggu 13 Agustus 2023
Rusdianto