Halusinasi Waterfront City -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Halusinasi Waterfront City

Rusdi Al Irsyad
Kamis, 13 Juli 2023

Selama sekian abad, pertanyaan tentang ucapan Heraclitus; Panta Rhei, terus berdatangan. Ucapan yang meski diragukan benar-benar keluar dari filsuf kelahiran Kota Efesus ini, diyakini dan disepakati dapat diartikan sebagai 'semuanya mengalir'. Salah satu tokoh paling penting dalam filsafat itu meyakini bahwa dunia berjalan sebagaimana sungai. Tak sekadar air. Di dalamnya juga ada kehidupan, serta konstannya perubahan. Ahli yang datang belakangan, menyebutnya sungai kosmis.


"Jangan berjalan di sungai yang sama dua kali. Karena meski alirannya sama, tapi sebenarnya  banyak hal berubah di sana. Kalau bukan sungainya, manusianya."


Peradaban sungai selama perjalanan kehidupan manusia, kerap kali dikaitkan dengan kemajuan berpikir.  Lembah Sungai Indus. Peradaban Sungai Gangga, hingga peradaban Tepian Mahakam, adalah contoh nyatanya. Tapi, dunia modern tidak benar-benar menyeret manusia beserta pemikiran majunya. 


Peradaban sungai yang meski manis dalam jualan-jualan pariwisata. Namun, pada kenyataannya seringkali tak benar-benar mengagungkan nilai-nilai sungai, sebagaimana yang diungkapkan Heraclitus. Sungai diidentikkan dengan perubahan. Seperti ungkapan; dari demikian hal yang tak pasti. Sedikit diantara kepastian itu, adalah perubahan. 


Dua hari lalu, dari seorang kawan yang pemilik media daring di Samarinda. Aku kembali mendengar adanya rencana pembangunan di sepanjang Tepian Sungai Mahakam, di Kota Samarinda. Benar. Itu dikaitkan dengan konsep Waterfront City. Sesuatu yang sudah terdengar sejak awal periode kepemimpinan Awang Faroek Ishak. 


Tuhan maha baik. Secara tak sengaja, dipertemukan dengan salah satu informan penting. Ia mengajak melihat  langsung,  ke kawasan Tepian Mahakam, tepat di depan Masjid Islamic Center Samarinda di malam hari. 

Itu adalah sebuah deretan taman yang gelap, dengan orang berjejalan di tepian sungai. Mereka duduk-duduk di atas turap. Mayoritas adalah muda-mudi. Selama duduk di tempat itu, sekira 30 menit. Setidaknya ada lebih dari 5 kelompok pemuda yang membawa gitar, lalu menawarkan untuk menyanyikan lagu. Informan ini, mengajari saya untuk menolak dengan mengatakan beberapa kalimat. Ia mencontohkan, lalu aku diduplikasi. Berhasil. 


Itu adalah suasana  malam, di Kota Samarinda, sekira pukul 8.00 hingga pukul 10.00. Sebagai Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur. Salah satu Provinsi terbesar di Indonesia secara luas wilayah. Kota Samarinda dijejali hampir atau mungkin lebih 1 juta populasi. Ia juga adalah tujuan dari kota satelit di sekitarnya. Tenggarong, Sangatta, Bontang, hingga Balikpapan. Tapi apa yang bisa didapat dari lokasi di tepian sungai itu, jauh dari yang bisa dibayangkan. 


Minimnya penerangan, serta banyaknya orang dengan aksen-aksen yang terbilang khas kehidupan malam, bisa saja menarik siapapun yang ada di sana ke dalam bahaya. Tidak, aku tidak sedang menakutimu. Tapi ini adalah sejenis kewaspadaan yang musti dimiliki setiap orang. 


Aku tahu usaha keras sedang dilakukan. Penataan kawasan, hingga penertiban lokasi parkir dilakukan walaupun terkesan setengah hati, lantaran masih saja ada orang yang akan mendatangimu ketika baru saja sampai, dan meminta sejumlah uang imbalan parkir. Tak ada bukti struk. Tak ada infrastruktur berarti. Kendaraan pun, tak ada jaminan aman. Tapi demikianlah. 


Kembali ke sekira 3 pekan lalu. Aku mengunjungi kota di bagian utara Pulau Kalimantan. Kuching. Pusat kota dari Negara Bagian Sarawak Malaysia ini, nyatanya punya lokasi tepian sungai yang sama persis, sebagaimana di Samarinda. Aku akan punya alasan banyak sekali untuk bilang bahwa populasi di sini tentu tak sebanyak Samarinda, sehingga penataan kawasan hingga ketertiban jauh lebih mudah dilakukan. Belum lagi faktor modal pemerintah, dan kondisi kultur masyarakatnya yang bisa dibilang relatif lebih mudah menerima penerapan aturan. Hal-hal itu, mendorong hasil akhir penataan kawasan tepian yang bisa ku bilang amat baik. Ini aku katakan setelah membandingkan dua tempat dengan geografis yang sama persis. 


Tak ada parkir liar di sana. Turap rapi, tertata dan yang paling penting bersih. Nyaris tak ditemukan satu helai sampah pun, baik di turap maupun sungai. 

Entah bagaimana pemerintah setempat melakukan itu. Pengelolaan pariwisata sebagai eksploitasi sungai secara manusiawi juga relatif berhasil. Wisata susur sungai, tak ubahnya pesiar. Wisatawan asing menjejali kapal-kapal wisata dengan sajian tari-tarian yang, bisa juga dengan mudah kita temui di Samarinda. Bangunan-bangunan megah di sepanjang pinggiran sungai, bisa dengan mudah dijumpai. Tapi, ini tidak lalu membuat penataan kota tampak semerawut.


 Benar kiranya, rumput tetangga selalu lebih hijau dari rumput sendiri. Padahal, sering sekali aku dengar. Pada dekade 70 hingga 80an, Malaysia mengimpor guru-guru dari Indonesia untuk mengajar di sana. Belum lagi deretan panjang nama-nama perusahaan Indonesia yang dipercaya mengerjakan ratusan kilometer jalanan Malaysia, menunjukkan bahwa sejatinya, Indonesia jauh lebih maju ketika itu. Tapi mengapa sekarang posisinya mulai berbalik? 


Rasanya tidak terlalu berlebihan, ketika berbicara Waterfront City, kita belajar dari negeri seberang. Tak perlulah kita keliling dunia, jika tetangga serumpun juga terbukti berhasil. Antusiasme masyarakat kita terhadap sungai, sudah sangat baik. Sungai benar-benar menjadi pusat kehidupan setidaknya bagi mereka yang hendak menumpahkan keluh kesah. Tapi seperti kata Heraclitus, sungai juga melambangkan perubahan yang abadi. Jadi, jika kita (Samarinda) pernah nyaris tak bergerak, dan berubah selama hampir 2 dekade, sekarang saatnya kita meniti jalan perubahan itu. 


Mimpi Waterfront City ala benua Eropa, bukan hal yang salah. Tapi, jika pembenahan tak dilakukan dari dalam, dari kultur dan budaya menjaga dan menghormati sungainya. Maka itu semata-mata hanya akan menjadi halusinasi.


 Ketika berbicara menghormati sungai, aku juga sedang mengatakan tentang komitmen menjaga Daerah Aliran Sungai (DAS) dari raksasa-raksasa beton yang sengaja dibangun(kan) demi alasan-alasan pemberdayaan (baca: keuntungan). Terlepas dari catatan panjang ketidakpastian pengelolaan tepian sungai kita. Yang lalu biarlah berlalu. Sekarang, mari kita percayakan cita-cita Waterfront City itu untuk diwujudkan pemerintah. Aku tahu mereka sedang berusaha. 


Samarinda, Kamis 13 Juli 2023

Rusdianto