Sulitnya Profesional di Tengah Ekspektasi Publik Tentang Informasi Serba Terbuka -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Sulitnya Profesional di Tengah Ekspektasi Publik Tentang Informasi Serba Terbuka

Rusdi Al Irsyad
Kamis, 22 Juni 2023

Ilustrasi journalist (freepik.com)

Disrupsi informasi, mengubah cara publik mendapatkan dan mengonsumsi informasi. Pernyataan ini, rasanya nyaris tak perlu proses validasi untuk sekadar bisa kita sepakati. Pola konsumsi informasi dari media berbasis cetak, bahkan dari portal media daring  sekalipun, kini tak jarang dianggap sebagai cara lama mengonsumsi informasi.

Kehadiran media sosial dengan sederet inovasi yang semakin memudahkan publik dalam urusan mendapatkan informasi, membikin pola konsumsi informasi bergeser kepada sesuatu yang semakin instan.


Meskipun tampak menguntungkan bagi publik, karena hal-hal seperti kemudahan akses, kecepatan proses publikasi berikut penyebarannya, namun ada beberapa hal yang sejatinya mengancam eksistensi dunia pers, selain tentunya juga akan berdampak bagi publik itu sendiri.

Selain  kesimpangsiuran, informasi yang tidak diolah dengan cara kerja jurnalistik, rawan akan bias hingga polarisasi isu, sampai pada level berita bohong alias hoax. Itu adalah sederet risiko dari pola konsumsi informasi yang instan. Tapi di luar itu, pola konsumsi yang didasarkan pada penggunaan media sosial yang memungkinkan adanya interaksi langsung dan dua arah, antara pembuat berita dan audiensnya. Maka secara bersamaan membuka pintu intervensi publik.


Menurut saya, ini adalah salah satu anomali yang ditimbulkan dari disrupsi informasi. Fenomena ini tak bisa dipandang remeh. Intervensi yang dimaksud, pada gilirannya bukan hanya memengaruhi publik sebagai konsumen tapi juga kepada eksistensi komunitas pers.

Walaupun, akan selalu ada dua sisi atas hadirnya sesuatu, namun sudah sepantasnya bagi komunitas pers untuk mempersiapkan diri atau bahkan menyesuaikan diri. Bentuk-bentuk intervensi publik, sejatinya sudah ada sejak lama. Panggung-panggung mimbar umum, unjuk rasa hingga surat pembaca paling tidak mewakili bagaimana respons langsung publik, atas sajian informasi yang diberikan oleh kalangan pers. Namun demikian, hal-hal tersebut bisa dikatakan relatif terkontrol dan terkanalisasi. Sehingga, model untuk mitigasi risikonya juga relatif lebih formal, sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No 40 Tahun 1999 Pasal 1 yakni Hak Tolak, Hak Jawab hingga Hak Koreksi.


Namun, yang terjadi pada era media sosial adalah sama sekali berbeda. Di luar intervensi yang sifatnya fisik, kekerasan, pengancaman dan seterusnya. Intervensi publik melalui kanal-kanal media sosial lebih bersifat tekanan pasar dan masif. Kolom-kolom komentar yang disediakan pada masing-masing laman, bisa menyerupai halaman-halaman kantor media, atau bahkan ruang redaksi yang dijejali diskusi baik yang terkendali maupun tidak.


Pers, kini seperti punya kewajiban memuaskan publik atas tekanan-tekanan massa, yang masuk melalui media sosial. Selain itu, media sosial juga memungkinkan publik untuk punya ruang tersendiri bagi usaha mempublikasikan ide dan gagasan mereka. Sehingga, batas-batas kepakaran yang semula sangat dijunjung tinggi oleh komunitas pers, seolah-olah kabur. Kini, semua orang dengan media sosial bisa menyebarkan ide dan gagasan mereka. Hal-hal ini, rupanya juga tak jarang digunakan untuk secara langsung atau tidak mengintervensi media massa atas dalih kepentingan publik.


Sayangnya, meskipun ini banyak dianggap sebagai kemajuan dalam komunikasi publik, namun yang harus dicermati adalah bahwa tidak selamanya, kepentingan atau persepsi publik terhadap sebuah isu yang sedang berkembang adalah benar, dan patut dibela atau disuarakan oleh media massa. Selain itu, ada pula hal-hal yang berkaitan dengan kode etik jurnalistik (KEJ), pedoman-pedoman penulisan khusus, yang seringkali bertabrakan dengan keinginan publik.


Pada tahap ini, seringkali para pelaku pers, dihadapkan pada situasi yang sulit. Di satu sisi pengin memenuhi harapan publik untuk menayangkan berita tertentu, tapi di sisi lain seringkali penulisan atau penyajiannya menjadi tak sesuai harapan, karena harus mengedepankan prinsip-prinsip jurnalistik.


Hal-hal demikian, bisa jadi adalah alasan mengapa kini banyak media massa yang ditemukan secara terang-terangan menabrak batas-batas yang sudah ditetapkan oleh Dewan Pers atau otoritas komunitas pers lainnya. Pasalnya, intervensi publik seringkali pemenuhannya juga segaris lurus dengan ekspektasi pasar. Itu artinya, ada penjualan yang turun ketika ekspektasi pasar tadi tak terpenuhi. Ada target pembaca yang tak tersentuh ketika intervensi melalui kolom-kolom komentar itu diabaikan.  


Fenomena ini makin terasa rumit, ketika era jurnalisme warga makin diminati. Masyarakat seperti punya alat paling mudah, murah dan efektif untuk menyuarakan sesuatu. Pada kasus tertentu, media massa atau pers kemudian harus tertatih-tatih untuk mendapatkan simpati publik. Apalagi, ketika isu-isu sensitif yang pada prosesnya pers harus mengedepankan keberimbangan, KEJ, pedoman penulisan dan seterusnya sehingga secara kecepatan dengan mudah didahului oleh produk-produk instan media sosial. Untuk itu, rasanya sudah saatnya hal yang saat ini masih terasa sebagai anomaly ini untuk disikapi oleh para pelaku pers, khususnya pihak-pihak yang punya kompetensi untuk menyampaikan kaidah yang murni dan lurus tentang apa dan bagaimana pers bekerja, dalam menyajikan informasi.


Sebagai solusi jangka panjang, edukasi masyarakat adalah sebuah keharusan. Selain, penyesuaian dan peningkatan kapasitas jurnalisnya sendiri juga harus dilakukan. 


Samarinda, Mei 2023

Rusdianto