Kopi Terakhir Bapak -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Kopi Terakhir Bapak

Rusdi Al Irsyad
Sabtu, 12 September 2020

Segelas Kopi (freepik.com)

"Segelas kopi, yang selalu kusesali. Mengapa aku tak bisa membuatkannya untuk orang yang paling banyak jasanya untuk hidupku"


    Andai saja aku tahu, bahwa itu permintaan terakhir kalinya, pasti aku tak akan menolak.   Penyesalan seperti tidak pernah habis menghampiriku, setiap kali memandang secangkir kopi.  Masih hangat di ingatanku, kala suara gemetar bapak menyergah dan membubarkan keasikanku mengulik sebuah gitar di kamarku

Waktu itu siang hari, hujan turun begitu deras, nampak seorang tua dengan rambut putih berpotongan cepak rapi, ciri khas seorang tentara sedang duduk menaikkan sebelah kakinya ke kursi.  Sambil memandangi hujan di balik jendela kaca yang setengahnya tertutupi kain gordyn bermotif bunga.

“Naak, kamu ngapain. Sini bapak mau denger kamu nyanyi,” samar – samar kudengar suara orang tua itu dari balik pintu kamarku.

Sementara aku mengabaikannya dengan terus menempelkan jariku pada papan tekan gitar. Lima menit kemudian, suara petir mengagetkanku.  Aku menjerit  seperti kucing yang terinjak ekornya.

Kudengar sayup orang tua itu terkekeh, demi mendengar teriakanku yang hampir menyerupai anak perempuan yang ketakutan ditinggal sendiri di tempat gelap itu.

Aku menggerutu dalam hati.  Saat ku loloskan sedikit kepalaku keluar kamar.  Tiba- tiba, “Bikinkan bapak kopi nak, enak ini hujan-hujan dingin gini kita ngopi,” sontak suara pelan nya itu pun mengagetkanku dan aku terlonjak keluar kamar.

Lagi-lagi ia justru tertawa melihat tingkahku.

Dengan kesal aku bangun dan duduk di kursi yang ada didepannya.  Ia memgang kepalaku dan menghambur rambutku dengan mengacak-acaknya.

“Ish apaan sih pak, “ aku melengos.

Kulihat dia hanya menarik senyum dibibirnya, lalu berkata.

“Kuliahmu cepat diselesaikan ya nak, biar cepat dapat kerja,” baru saja ia akan membuka mulutnya untuk melanjutkan kalimat, dengan kecepatan angin aku merangsek dan memotong.  "Aku nda mau jadi karyawan seperti bapak, kerja sampe tua, ndak ada kemajuan. Kerja diatur-atur sama orang, aku mau jadi musisi pak,” sergahku.

Ia menyeringai, “Iya , ndak papa ndak usah jadi karyawan seperti bapak, yang penting selesaikan dulu kuliahmu itu secepatnya. Jangan banyak buang waktu untuk hal yang tidak berguna.  Jadi musisi kan juga butuh manajemen,  jadi kuliahmu itu penting,” katanya lagi.

Tak menjawab, aku hanya mengikuti gerakan bibirnya.  Iya, aku sudah hafal dengan dialog nasehat ini. Rasanya sudah ribuan kali aku mendengarnya. Bapak hanya mengetuk bibirku dengan jarinya. 

Lalu ia melanjutkan dengan dialog yang juga sudah kuhafal setiap kata-katanya.

“Nanti kamu harus jagain mamak, kasihan dia cuma punya kamu,”  Ia terus melanjutkan nasehatnya. Tapi yang kudengar hanya ,bla bla bla bla bla,,..

Lalu aku memotong lagi.  “Iya iya pak, tadi mau kopi kan ?. Aku buatin sekarang ya,” aku bicara sambil berlalu.

Ketika menuju dapur, tiba-tiba ponselku berbunyi.  Seorang kawan menelponku. Dari ujung telpon terdengar suara bising , “Woyy latihan sekarang, lupa kah ? “ .. ah iya aku baru ingat hari ini aku ada jadwal latihan bersama teman bandku.

Arah jalan ku alihkan menuju kamar. Kusahut gitarku, memasukkannya kedalam tas, lalu  bergegas menuju garasi.  Dengan mengandalkan  jas hujan, aku segera memacu sepeda motor menuju studio tempat latihan.

Ketika melintas di depan rumah, terlihat bapak masih di kursinya. Ia yang dapat melihatku melambaikan tangan, sambil mengucapkan sesuatu.

Aku hampir tidak bisa mendengar suaranya karena bising suara hujan. Ditambah dengan helm yang kupakai, menutupi telingaku.

Tapi samar aku mendengar, “Hati-hati, kopi bapak mana ? “.. aku hanya menunjuk kearah dapur dan langsung berlalu.


---+-+Sesal---+--+---


Tiga hari kemudian, mataku bengkak, karena aku tak berhentinya menangis.

Aku terduduk tanpa alas di depan sebuah makam.  Kalau boleh aku ingin menemani jenazah di dalam makam itu.  Setiap hari hatiku terasa sangat hancur.  Entah mengapa, tapi setiap malam bapak masih saja datang ke mimpiku.  Dengan mengucapkan kata-kata nasehat yang sama.

Entah sudah berapa gelas kopi yang aku minum.  Entah sudah berapa tetes air mata yang berderai. Sungguh andai saja sesalku dapat tertolak.

Teringat kejadian siang itu. Sesampainya di studio, aku merasa begitu remuk kala tengah asik memainkan lagu, ponselku yang sejak tadi berbunyi tak kuhiraukan itu akhirnya ku ambil. Dengan malas-malasan saat ku lihat di layar telepon nama Ibu yang memanggil.

Kucoba saja menjawab telepon itu. Tidak banyak kata yang kudengar dari ujung telpon. Hanya suara tangis yang menggelora.  Aku bingung. “Ma, kenapa, mama kenapa ?” Pertanyaanku justru membuat tangisnya makin nyaring. Sedetik kemudian ia berkata “ Kamu pulang sekarang ya nak,".

Masih bingung, aku hanya menutup telpon dan berjalan bak zombi menuju parkiran.

Kupacu motorku menuju rumah.

Heran, kupandangi halaman rumah dipenuhi tetangga, dan mobil-mobil yang terparkir menyesakkan jalan.

Aku bisa melihat, sisa air hujan yang tertinggal kubangan bekas roda kendaraan, memantulkan bayangan kerumunan orang di depan rumah. Hujan deras tadi, juga menyisakan udara dingin yang menusuk.

Saat langkah membawaku makin dekat dengan rumah,  kudengar lantunan  ayat suci bergema di ruang tamu.

Aku masih bertanya, ada apa sebenarnya.

Aku beranikan langkahku semakin mendekat. Dengan tergopoh-gopoh, aku melihat ibuku dengan mata yang sembab dan merah, menarik tanganku.  Sekelebat aku dapat melihat sosok bapakku terbaring di tengah kerumunan orang –orang.

Ibuku mencoba membawaku ke kamarnya.  Aku meronta. “Ma, bapak kenapa, bapak kenapa ?,”.  Hampir saja aku membubarkan kerumunan orang yang sedang mendoakan bapakku.

Setelah aku bisa mengendalikan diri. Barulah bisa ku dengar penjelasan kejadian ini. Dari cerita ibuku, akhirnya aku tahu.  Lima menit setelah aku pergi, bapak yang punya trauma dengan suara petir, terkena serangan jantung akibat dentuman suara petir yang terdengar sangat nyaring waktu itu.

Nyawanya tak tertolong karena tidak sempat mendapat tindakan medis dalam waktu cepat. Mendengar cerita itu, aku tak hentinya menyalahkan diriku.

Andai saja aku tidak pergi, mungkin bapak masih hidup saat ini. Segelas kopi yang dimintanya pun, tak sanggup aku berikan.  Padahal ia menghabiskan separuh hidupnya untuk memastikan aku tetap hidup, aku bisa belajar, aku bisa menikmati banyak hal di dunia ini.

Segelas kopi, yang selalu kusesali. Mengapa aku tak bisa membuatkannya untuk orang yang paling banyak jasanya untuk hidupku.

Di usiaku yang seharusnya sudah bisa memberikan sesuatu untuknya, nyatanya aku justru dengan egoisnya terus membebaninya dengan semua tingkah kekanakanku.

Teringat, ketika ia amat bersikukuh untuk memasukkanku ke sebuah universitas dengan jurusan teknik. Namun aku dengan tanpa memikirkan perasaannya,  memamerkan hasil kelulusan tes uji masuk di universitas lain dengan jurusan ekonomi yang menurutku jauh lebih keren.

Tapi, ia pandai sekali menyembunyikan kekecewaanya. Bahkan ketika aku mulai memasuki semester akhir namun aku mulai malas menyelesaikan kuliah, dan justru ingin fokus bermain musik. Ia malah memberiku sebuah gitar mahal yang sudah lama aku inginkan.

Setelah semua itu.  Satu gelas kopi pun tak sanggup aku memberikannya.

Satu gelas kopi dengan sedikit gula yang sangat disukainya. 

Satu gelas kopi yang telah mengingatkanku bahwa, jangan pernah meremehkan orang yang mencintaimu dengan tulus.  Karena kita tidak pernah tahu, sampai kapan dia akan terus bersama kita.

Ditulis oleh : Rusdianto

Samarinda, 5 Agustus 2016. 

Note : Naskah lama, yang ditulis ulang dengan beberapa perbaikan. Naskah lama, diunggah untuk mengikuti kompetisi. Sobat bisa membaca versi lawasnya di sini :

http://borneopaper.blogspot.com/2016/08/kopi-terakhir-bapak.html