Pada Suatu Hari Nanti, (Sebuah Orbituari Sapardi Djoko Damono) -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Pada Suatu Hari Nanti, (Sebuah Orbituari Sapardi Djoko Damono)

Sobat Kalimantana
Minggu, 19 Juli 2020


Sebuah Obituari

Oleh : Doddi Ahmad Fauji
Ketua Umum Partey Penulis Puisi
Dekan Fakultas Sastra Maya
Sekolah Teladan Kewajaran Bersikap


Begini: kita mesti berpisah. Sebab/ sudah terlampau lama bercinta, sebab anak-anak kita telah mengusir ibu-bapanya/ dan sebab tak ada rumah lagi/ yang masih terbuka/

Mula-mula air mata, yang cepat mendingin/ kita pun pergi seperti apa kata kitab-kitab itu/ sehabis makan malam/ siapa yang mengantarkan kita?/ hati kita sendiri, lebih unggul dari derita/ lebih unggul dari putus asa/ lebih unggul dari sepi;

ditanamnya pohon jeruk/ di pekarangan bekas rumah kita, dicoretkannya/ kapur penolak bala di tiap ambang pintu/ lalu kita tusuk sendiri dua belah mata kita/ agar tak terlihat lagi adegan-adegan cinta/ agar tak sakit hati mengenangkannya/

Kita tinggalkan kota ini, ketika menyeberang sungai/ terasa waktun masih mengalir/ di luar diri kita. Awas, jangan menoleh/ tak ada yang memerlukan kita lagi/ tak ada yang memanggil kembali;/ perkara kita tak hanya sampai di sini. Mari...

Ternyata saya bangun pukul 11-an hari ini. Android mati. Saya ketahui waktu, setelah mengisi batrey, dan menyalakan HP yang mati. Begitu nyala, dan membuka beragam sosmed, segera yang terbaca, di berbagai grup WA, ucapan innalillahi wa inna ilaihi rojiun.

Penyair kita, Si Mata Pisau itu, telah mangkat sekira dua jam sebelum WA saya aktif kembali. Saya langsung mengingat hari lahir beliau, kisaran tahun 1940-an, dan sekarang tahun 2020. Usia 80 tahun, termasuk jarang orang Indonesia bisa mencapainya. Tentu lebih jarang lagi, bila memasuki usia di atas itu. Beberapa sastrawan yang saya anggap seperti ayah, kini memasuki ambang 80-an.

Saya ingat, Pramoedya Ananta Toer wafat di usia 81, Barli Sasmitawinata mangkat di usia 80, Sitor Situmorang pada kisarn 80 juga, Jeihan Sukmantoro di kisaran 81-an, bahkan WS Rendra mangkat pada usia 76, sedang ayah kandung saya wafat pada usia 69.

Segera yang teringat dari Sapardi adalah puisi perpisahan di atas, yang sering saya bacakan dalam berbagai acara pelantikan mahasiswa baru di kawasan-kawasan dingin macam Ranca Upas, Gunung Puntang, Parompong, Cikole, dll.

Di hadapan api unggun, seluruh mahasiswa baru dan panitia berhimpun mengelilingi api. Kala itu, dengan menenteng sebilah kayu yang sudah kena api, saya membacakan puisi berjuluk Pada Suatu Hari Nanti itu sambil berputar mengelilingi api unggun. Kawan saya, Wan Anwar, juga membaca puisi Sapardi, namun ia biasanya memilih puisi lain, yang bunyinya itu kira-kira: Kau yang matakan rambutnya ikal…..
Kau yang mangatakan rambutnya, matanya…..

Rata-rata hadirin terpesona, dan bertanya, puisi siapa, siapa Sapardi Djoko Damono itu?

Kala itu, tahun 1990-an nama-nama penyair Indonesia sedikit yang dikenal karena keterbatasan media massa untuk mewartakannya. Yang paling tahu, bahkan termasuk di mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, berpusar pada nama Chariril Anwar, Taufik Ismail, Rendra.

Saya termasuk beruntung aktif di organisasi, sehingga dalam Lomba Baca Puisi Piala Rendra yang kali perdana digelar tahun 1989, saya mengenal beberapa nama penyair lewat antologi puisi yang akan dibacakan oleh para peserta. Dari antologi itu kemudian terbaca nama-nama penyair Indonesia seperti Hartojo Andang Djaja, Geonawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono, termasuk di deretan terakhir ada nama Eka Budianta.

Ketidaktahuan nama-nama penyair Indonesia yang berjasa itu, adalah karena dunia pendidikan sedari SD hingga tingkat menengah, kurang memberi kesempatan untuk memperkenalkan para sastrawan Indonesia. Kala itu, dunia pendidikan memang sedang bangga dengan jurusan teknologi. Bisa masuk ITB adalah primadona.

Ya kala itu, masuk IPS adalah siswa apkiran. Jurusan IPA adalah primadona. Apalagi masuk SMEA, dianggap siswa kelas ketiga. Adalah Romo YB Mangunwijaya yang menyadarkan saya, bahwa kehidupan ini, justru dikuasai oleh ilmu-ilmu sosial. Jika Anda ingin menjadi pengusaha sukses, Anda kuliah seharusnya bukan di ITB, tapi di jurusan manajemen perusahaan. Seluruh jurusan ekonomi dan manajemen, adanya di IPS, dan bukan di IPA atau ITB.

Penyair yang berjasa dalam mengenalkan sekian penyair lagi, adalah kiyai Linus Suryadi AG, yang menyusun buku Tonggak 1 hingga 4, terbitan Gramedia. Lewat buku ini, kami berkenalan dengan penyair lawas para pendahulu macam JE Tatengkeng, Armijn Pane, Sanusi Pane, hingga penyair termuda kala itu: Nirwan Dewanto.

Ketika kami tingkat dua, dan mulai menguasai Himpunan Mahasiswa sebagai pengurus inti, Wan Anwar jadi Ketua Hima dan saya jadi Pemimpin Redaksi Majalah Parantesis yang terbit setahun sekali, kami mengagendakan untuk mewawancarai Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Putu Wijaya, dan Afrizal Malna.

Tiga hari di Jakarta, lebih karena terseok-seok mencari alamat dan menemui calon para narasumber itu. Kami bertemu Afrizal Malna di Teater Arena TIM, dan sehabis pertunjukan teater dari mas Budi Otong, aku menenteng Walkman, siap mewawancari Afrizal Malna. Nah, apa yang terjadi.

Pertanyaan pertama tentang kondisi pendidikan sastra di Indonesia, dijawab dengan telak oleh Afrizal Malna. “Buang ke sampah itu pertanyaan. Tak berguna pendidian sastra!”

Jleb, langsung ciut nyali untuk meneruskan wawancara, dan dalam pada itu, saya memang Pemred, tapi belum berpengalaman mewawancarai orang. Saya diam… menunggu reaksi Afrizal Malna yang berkepala sudah plontos itu.

“Eh, kamu bicara kesusastraan kontemporer dong, dari masa ke masa,” katanya.

Suatu kebahagiaan bahwa Afrizal mau bicara lagi. Tapi apa daya, saya pelanga-pelengo dengan kesusastraan kontemporer itu. Duh Ma, tingkat dua kala itu, hanya bisa pelenga-pelengo.

Relasi dengan Afrizal Malna tidak berlanjut, dengan meninggalkan kesan bahwa kami orang kampung yang tidak tahu apa-apa.

Siang hari, kami sampai di kantor Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ya, kami akan melakukan wawancara dengan SDD. Nah, lain ladang lain belalang, lain kepala lain pula rambutnya. Sapardi selalu rapi rambutnya, sedang Afrizal tak punya rambut, jadi terasa tak punya ras-rasan kala itu.

Sapardi menjawabi pertanyaan kami dengan sabar, dan kami mendapatkan tandatangan Beliau pada buku Mata Pisau dan buku Dukamu Abadi, dua antologi puisi Beliau yang kami beli sebelumnya di perpustakaan UI. Dua buku itu, sangat sulit dicari di tempat lain. Nah, dengan punya dua buku itulah, kami selalu teriak-teriak di gedung Pentagon lantai III, di kawasan Ledeng yang berkabut, melawan sunyi dengan meneriakkan puisi.

Saya melihat Pak Sapardi itu seperti sapi. Matanya teduh, senyumnya renyah, dan tidak seladak-seluduk. Kami pun mengundangnya untuk menjadi pemateri di kampus kami, IKIP Bandung. Beliau setuju, dan siap hadir.

Yang lucu, kami selaku aktivis kampus, kadang bangun masih dengan kurang awas. Calon peserta sudah pada kumpul di depan Gedung Olahraga yang berada di samping PKM. Kami masih mengurusi yang lain. Panitia yang bertugas di gedung, memang bukan para senior. Urusan peralatan dan perlengkapan memang jatah junior. Ada yang mengkondisikan rumah untuk menyambut tamu agung. Sekian mahasiswa kami kerahkan dari kelas, memindahkan kuliah dari kelas ke Gedung Olahraga. Entah kenapa, kala itu, sekian dosen seperti baik dan nurut kepada kami.

Beberapa kali kami pindahkan perkuliahan dari kelas ke dalam seminar. Acara akan dibuka pukul 08.00, dan pagi itu, mahasiswa yang kami kerahkan dari kelas, sudah pada berkumpul di gedung tempat seminar. Kala itu, kisaran 07.30-an. Lalu datanglah lelaki tinggi berbadan jenjang mengenakan pet, dan bertanya ke para mahasiswa yang sudah berkerumun di depan gedung. Di manakah tempat acara seminar pendidikan sastra, yang kala itu judulnya cukup mentereng dan meneror: Perkara Kemunduran Pengajaran Sastra Indonesia.

Yang ditanya malah balik nanya. Bapak calon peserta?

Padahal yang ditanya itu Pak Sapardi, yang akan menjadi pembicara utama.

_________________________________________________________________________________

Sebuah kehormatan, Kalimantana.id diizinkan menerbitkan tulisan dari Kang Dodi, alias King DAF. Orang yang setia bergelut dengan dunia sastra, di Bandung. Melalui berbagai aktifitas maya, dan perjuangan di Sanggar SituSeni. 



Doddi Ahmad Fauji

- Ketua Umum Partey Penulis Puisi
- Dekan Fakultas Sastra Maya, Sekolah Teladan Kewajaran Bersikap