Kejujuran dan Kebersamaan -->

Header Menu

Iklan Mas Vaga 1

Advertisement

Kejujuran dan Kebersamaan

Redaksi Kalimantana
Minggu, 17 Mei 2020

Novel Perempuan Dalam Bayang-bayang (Dokumentasi Dodi Ahmad Fauzi)

Resensi novel Perempuan dari Balik Bayang-bayang karya Tatang Sumarsono

oleh Doddi Ahmad Fauji

Ini novel bukan sekadar prosa, tapi pancaran alam bawah sadar penulisnya yang pituin Sunda, yang menyadari benar eksistensi orang Sunda dalam rentang sejarah, yang ternyata penuh dengan goresan luka. Saya sebagai orang Sunda, juga ikut merasakan hal itu, ketika membaca kisah-kisah yang ditulis oleh Ajip Rosidi atau Yosep Iskandar, serta dari tuturan para sejarawan.

Seorang gadis dari Sumedanglarang yang dijadikan upeti untuk Raja Mataram, di luar dugaan telah membuat sang Raja tumbang di atas ranjang, sehingga harus menenggak obat kuat melebihi dosis, yang membuatnya justru jadi tersungkur hingga pingsan. Gadis yang harus dipenggal mati itu, terselamatkan setelah melewati sekian rintangan.

Ia awalnya dihukum usir atas perintah rengrengan keraton ketika raja masih siuman. Namun, setelah raja kembali sadar, menyatakan hukuman itu terlalu ringan, karena harusnya dipenggal kepala. Akhirnya dua prajurit yang membuangnya, kembali ditugasi untuk mencari gadis terhukum itu, guna dipenggal kepalanya di alun-alun, karena telah mempermalukan Raja.

Ia justru diselamatkan oleh prajurit yang memburunya, disebabkan prajurit tersebut bukan berdarah Mataram, melainkan berdarah Madura, yang sama-sama dengan orang Sumedang, merasakan ketidakmerdekaan batin akibat serentet aturan yang diberlakukan secara sewenang-wenang oleh Raja Mataram.

Kisah-kasih yang dituturkan dalam pergolakan Mataram, Sumedang, Maduran, Makkassar, menjadi pelajaran sejarah yang berguna, sebagai pengetahuan untuk memahami karakteristik leluhur manusia Indonesia. Di manapun, perang selalu meletus, selama ada orang rakus.

Saya membacanya, tentu tidak untuk membangkitkan luka, toh saya tidak mengalami kepedihan di masa silam itu. Namun apa yang dikatakan Bung Karno, jangan sesekali melupakan sejarah, membuat saya ingin menamatkan membaca novel setebal 248 halaman itu, yang ternyata ditulis hanya dalam 20 hari.

Sungguh istimewa, ketika tahu novel yang bertutur dengan fasih ini, ternyata ditulis tak sampai sebulan. Keterampilan seperti itu, selalu ingin bisa saya kuasai, namun hingga sekarang, saya akui bahwa saya menyerah.

Keterampilan Tatang Sumarsono ini, setara dengan kemampuan para prosais seperti Putu Wijaya, Remy Silado, atau alm. Arswendo Atmowiloto. Tentu saja, bukan sekedar mampu menulis dalam 20 hari, namun hasilnya sungguh memukai. Filsafat dan falsafah untuk menyalakan daya hidup, dengan tuturan yang ringan dan mudah dicerna, menjadi kekuatan dari novel ini.

Kepada para pembelajar, ketahuilah bahwa salah satu metode dalam belajar adalah studi banding atau tadzabur. Saya sarankan untuk membaca novel ini sebagai bagian dari strategi bertutur yang memikat untuk penulisan karya prosa.

Bagi yang hendak memesan novel ini, bisa kontak langsung pengarangnya, sebab novel ini diterbitan bukan oleh lembaga penerbit, tidak ber-ISBN, dan ada coretan tangan untuk mengoreksi typo. Penulisnya menuturkan, di masa lockdown, di mana manusia harus survive, maka jalan itulah yang ditempuhnya. Suatu kejujuran yang bersahaja, dan amat mahal harganya.

No WA penulis: Tatang Sumarsono: +62 818-0934-3999